POV: Alister.Kejadian tadi membuatku merasa bersalah pada Mila, sudah tiga jam wanita itu pingsan. Aku khawatir dengan keadaan Mila, ini semua karena emosiku yang tak terkawal. Semua karena cincin itu, aku benar-benar sudah melukai dia. Dia pasti sangat terkejut dengan perangaiku, apalagi aku sudah mengambil keperawanannya. Entahlah, aku sangat senang bisa menjadikannya seutuhnya milikku. Di saat hatiku terluka oleh keputusan Kezia.
Aku takut Mila lari dariku, takut dia trauma melihatku dan membenciku.
Aku masih terjaga di sampingnya, menatapnya sambil menggenggam tangannya. "Maafin Mas, Mila. Cepat sadar, sayang."
Aku tahu ucapanku sangat melukai Mila, tekanan yang kuberikan membuat pikirannya terbebani. Belum lagi perkerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa mengeluh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang pasti aku belum mau melepaskannya. Seiring waktu, tanpa aku sadar Mila membangun tempatnya sendiri di hatiku. Aku belum tahu sebesar apa tempatnya di hatiku, apakah masih lebih besar dari Kezia.
"Mas..." suara itu dari Mila, aku tersenyum melihat matanya sudah terbuka. Belum pernah aku melakukan kekerasan pada wanita, sumpah aku tidak sengaja membuat Mila sampai pingsan. Ini semua karena cincin sialan itu, apa dia akan marah padaku?
"Tekanan darah kamu rendah, makanya kamu pingsan. Ka-kamu kecepatan," ucapku, capeknya dia karena salahku.
Dengan santainya dia bicara. "Tiap hari diguling-guling siapa yang gak capek? Tangan siapa yang narik rambut, Mila? Dipikir gak sakit." Dia menatapku dengan kesal. "Ini cincinnya ambil aja, Mila ikhlas." Mila menyodorkan jari manisnya. Dengan jahatnya aku mengambil cincin itu, wajahnya terlihat kecewa.
"Kamu boleh marah sama aku, Mila. Nggak pa-pa. Mungkin dengan kamu benci sama aku itu jauh lebih baik." Aku memintanya untuk membenciku, bodohnya aku. Tanpa kuminta wanita ini pasti sudah sangat membenciku.
"Lagian ini cincin bukan punya kamu dari awal, jadi kamu gak ada hak simpan ini." Ucapku. Dia terdiam dengan wajah sendu. Jangan sampai dia kabur dari apartemen ini. Aku menarik tangannya dan mencium lama, beberapa menit kami saling menatap. "Jangan kabur ya... kemanapun kamu pergi aku pasti dapetin kamu." Ucapku penuh penekanan.
"Iya." Balas Mila dengan singkat.Aku tidak boleh marah dengan sikap cueknya, bahkan harusnya aku mendapatkan sikap yang lebih parah lagi dari Milla.
"Kamu laper kan? Aku ambilin makan ya," tanpa menunggu jawaban Mila aku bergegas pergi ke dapur. Tadi aku sudah memesan bubur ayam, tinggal kupanaskan lagi. Ini pertama kalinya aku menyiapkan makanan untuk wanita.
Aku duduk di tepi ranjang bermaksud menyuapinya, tapi berulang kali dia menggeleng dengan wajah sembabnya. Ya, dia menangis. Aku membuatnya menangis dengan sikap kasar dan egoisku.
"Mas udah makan?" tanya Mila, dengan keadaanya seperti ini saja dia masih perhatian.
Aku menggeleng. "Belum."
"Yaudah kita makan sama-sama. Aku bisa jalan kok, aku bukan pesakit. " Dia bangkit berdiri, lalu berjalan ke ruang makan. Kamu memang bukan pasien Mila, tapi aku yakin hati kamu yang sakit. Aku ingin merawat yang sakit itu.
Satu hal yang membuatku tertegun, Mila tidak pernah mengeluh dan menceritakan kegelisahan dalam hatinya. Aku berharap suatu hari nanti dia mau berbagi cerita pahitnya padaku. Mulai sekarang aku akan berusaha untuk menjadi teman terbaik untuknya, untuk Karmila.
🌹🌹🌹
Dan pada malam hari semuanya memang terlihat baik-baik saja. Aku membawa laptop ke atas ranjang. Dan dia naik ke tempat tidur dengan sweater menutupi bagian atas tubuhnya, dahiku mengerut melihat penampilan tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Lãng mạn( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...