Bab 26 Rasa perih

7.1K 358 3
                                    

POV: Mila.

Aku menguap berulang kali sedari tadi. Kelopak mataku terasa berat, jam dinding pukul satu malam. Sudah menjadi ritualku tiap malam menunggu Mas Alister pulang kerja. Aku menuruni tangga dari lantai tiga ke lantai satu. Lalu berjalan ke arah sofa berwarna putih di ruang tengah. Rumah sebesar ini kalau yang tinggal hanya sepasang saja pasti jadi seperti syuting film horor.

"Ali belum pulang?" suara itu dari Nenek, dia sangat menyayangiku dan berharap dalam perutku ada cicitnya. Aku tersenyum lalu dia menemaniku duduk di sofa empuk ini.

"Belum Mbah, mungkin dia lembur." Sahutku, Nenek mendesah.

"Kamu mau lihat orang tua Ali?" Aku mengangguk cepat. Nenek mengambil album dari lemari lalu membuka album lama dan menunjukkan foto-foto silsilah keluarga mereka. Dari kakek, ayah mertuaku, dan foto Alister yang terlihat gagah. Aduh gemesnya, kalau aku punya anak pasti setampan Alister.

"Meneruskan nama keluarga sangat penting. Kamu harus berusaha untuk membuat Alister menjadi seorang ayah." Nenek mengelus bahuku lembut. "Minggu depan ada peresmian perusahaan di bawah nama Alister, kamu berdandanlah yang cantik temani dia. Sudah saatnya kamu menunjukkan diri sebagai cucu menantu keluarga ini."

Aku mengangguk tersenyum bahagia. "Jadi aku boleh toh manggil Mbah beneran? Jadi Mbah ndak keberatan aku jadi istri Mas Alister." Aku ingin menyakinkan diriku lagi. Nenek mengangguk dengan senyum tulus.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, aku dan Nenek menoleh. Alister muncul dengan wajah kusut tanpa dasi, ia menenteng jasnya seperti benda berat. Aku menghampiri dengan tersenyum menyambutnya.

"Mas udah pulang." Aku mengambil jas dari tangannya. "Udah makan?" tanyaku.

"Udah." Jawab Mas Alister tanpa menatapku, dia sedang memandang Nenek sebentar lalu naik ke atas tangga. Aku menghela nafas, tangga itu lagi. Saat sampai di depan pintu Mas Alister membalikkan badan, menghadap padaku. "Kamu bersikap biasa saja. Jangan seperti ini seolah kita pasangan untuk seumur hidup." Suaranya datar, membuat senyumku pudar.

"Jangan perhatiin aku lagi kayak seorang istri. Anggep aja aku orang asing, pura-pura kamu gak ngeliat aku." Ujar Mas Alister menatap mataku. Aku mengangguk lemah. Nyatanya apa pun tidak bisa mengubah hatinya. "Di depan Oma sama Tante Nandia, kamu bisa bersikap seperti biasa. Supaya mereka gak khawatir."

Aku terdiam dengan raut wajah sedih, seharusnya aku sudah mempersiapkan sejak awal akan begini. Tatapannya dingin tanpa ekspresi, seolah aku adalah orang yang membuat hidupnya kacau. Dia melangkah ke depanku semakin dekat, membuat aku terintimidasi

"Dari awal kamu tahu kan Kezia adalah perempuan yang aku cintai. Itu gak akan pernah berubah."

Lalu dia meninggalkanku yang masih mematung di tempatku berdiri. Apakah aku telah melakukan kesalahan?

Kalian semua pasti berfikir aku wanita paling menyedihkan di dunia ini. Tidak... Tidak seperti itu, aku beruntung mengenalnya. Kalau tidak mungkin tempatku yang sekarang bukan di sini. Tapi di hotel bersama laki-laki yang berganti-ganti setiap malam.

Aku mengibaskan selimut di atas sofa, bersiap untuk tidur. Tidak lama laki-laki tampan atlentis itu keluar dari kamar mandi dengan celana boxer hitam, atasan kaus putih tanpa lengan. Untungnya aku tidak mengikuti saran Tante Nandia memakai gaun tidur sexy. Kalau tidak dia pasti menyangka aku sedang menggodanya.

Dia tidak semanis es krim seperti malam itu, wajahnya dingin seakan aku adalah lawannya yang harus dikalahkan dalam peperangan ini.

"Ngapain liat-liat? Balik badan, tutup mata," perintah Mas Alister. Aku gugup dan salah tingkah. Dia sudah mematikan lampu dan semua gelap. Dia benar-benar membiarkanku berhari-hari tidur di sofa.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang