POV: Alister.Selamat menjadi calon ayah, Mas Alister.
Aku melihat kartu ucapan di atas tempat tidur, saat aku membuka kertas terselip hasil USG Mila. Mila melakukan cek secara berkala seorang diri.
Aku merasakan dingin yang menyelimutiku, aku memang tidak menawarkan diri untuk mengajak Mila periksa kesehatan dan sekarang aku merasa tidak manusiawi. Saat aku hendak mencari Mila, mataku melihat sofa ada kotak di atasnya baju-baju bayi terpampang. Ada sarung tangan berukuran mungil, dan perlengkapan yang lain.
"Apa gak terlalu cepat beli ginian?" gumamku. Aku tersenyum memandangi barang-barang yang berserak di atas sofa itu. Padahal bayi itu baru 2 bulan, perut Mila juga masih rata seperti anak gadis.
Tiba-tiba suara ringtone ponselku berbunyi, aku berjalan ke arah nakas.
"Maaf Pak, saya ingin menanyakan untuk pembukaan perusahaan Minggu ini apa ada yang yang perlu saya perbaharui?"
Jovanka, sekertaris yang selalu menanyakan keputusanku berulangkali. Padahal aku sudah memberitahu bahkan menegaskan dia untuk mencatatnya. Manusia tidak ada yang sempurna, Jovanka sering membuat keteledoran sehingga dia selalu memastikan berkali-kali.
"Gak... Gak usah, ikutin jadwal aja. Tapi aku mau kamu kosongkan jadwalku Rabu atau Jumat. Aku mau punya waktu luang, jangan sampai pekerjaanku menumpuk Minggu ini." Tuturku setengah menggerutu. "Gajimu akan dipotong kalau jadwalku kamu buat penuh."
"Bapak ada urusan?"
"Hmm... Mila-- Dia hamil, kamu tahu kan? Aku harus membawanya--" Aku berpikir sejenak. "Apa kamu tahu apa yang harus kami lakukan untuk kesehatan calon bayi?
"Maksudnya aktivitas ibu hamil, Pak?" Jovanka terkekeh dengan pelan. Dia sedang menertawakanku. Aku berdeham membuat tawanya lenyap. "Olahraga teratur sangat baik Pak, kalau bapak mau aku bisa membooking tempat yoga atau zumba untuk Mila."
"Mas..." suara Mila memanggil. Aku buru-buru menyudahi pembicaraanku dengan Jovanka. Lalu tergopoh-gopoh ke arah suara Mila. "Mas bisa anterin aku ke toko buku besok? Ada yang mau aku beli."
"Aku gak bisa, mau pergi. Nanti minta Mang Udin aja yang nganterin." Aku melangkah ke kamar mandi, berdiri di bawah kucuran shower. Dengan tubuh basah kuyup pikiranku melalang buana.
Aku bohong pada Mila, aku tidak ada niat untuk pergi malam ini. Aku hanya tidak mau banyak menghabiskan waktu dengan Mila, tapi tidak bisa kupungkiri aku mulai nyaman dengan rengekan Mila. Menemaninya nonton televisi sambil mengetik di laptop sesekali mengelus perutnya yang katanya mules. Apa aku sedang melakukan peranku sebagai suami yang baik?
Kalian tahu pikiran-pikiran mesumku saat bersama Mila sedikit terkendali. Yang ingin kulakukan padanya lebih gila dari berhubungan badan. Aku seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta, ingin bermanja-manja dengannya, tidur di pangkuannya sambil dielus-elus kepalaku. Aku sadar sekali dengan umurku, aku bukan lagi remaja. Mungkin ini bawaan bayi, tapi kan perut Mila yang mengandung. Bukan aku?
Setelah selesai mandi aku berdiam diri di ruang kerjaku, mengambil ponselku untuk menyibukkan diri. Dan yang kudapati adalah teks pesan Kezia yang menumpuk tak kubaca. Yeah... Aku marah padanya karena membuat heboh di kampus Mila. Membuat kulit Mila yang putih halus tak bercela dipenuhi garisan-garisan bekas cakaran.
Aku kangen kamu. Kangen kamu banget.
Aku gak tahu gimana caranya kamu maafin aku, yang aku tahu selamanya waktuku untuk mencintaimu dan menunggumu.Aku berulang kali membaca pesan Kezia, aku juga berantakan kalau tidak bertemu Kezia. Aku melihat jam dinding pukul 9 malam, masih ada waktu untuk berkunjung kan? Nyiksa banget emang kalau nahan rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Romance( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...