Bab 8 Tukang gosip

8.6K 423 2
                                    


POV: Mila.

Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap.

Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus. kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air.

Setelah minyak panas baru kumasak telur dengan api kecil. Senyumku mengembang melihat omelet hasil karyaku. Mantab pokoknya, tidak sia-sia aku menonton acara masak-memasak di TV.

"Kamu kenapa senyum-senyum? Salah makan ya?" ucap Om Alister baru keluar dari kamar, pakaiannya sudah rapih dengan setelan kemeja dan dasi.

"Om... Mila buatin sarapan." Kubawa hasil karyaku dengan senyum bangga pada suamiku.

"Ini kamu yang masak?" Aku mengangguk. Kutarik bangku dan duduk di hadapannya. Mataku tak berkedip menunggunya mencoba masakanku.

"Itu omelet paling sehat Om, banyak sayurannya." Ucapku tersenyum lebar. Aku pastikan Om tidak akan kekurangan gizi kalau aku yang masak.

"Ngapain lihatnya gitu banget? Kamu kasih racun ya?" ujarnya membuatku ingin menarik piring itu dari depannya. "Kalau nggak dikasih racun, kenapa buatnya cuma satu? Kamu nggak makan? Disangka orang aku jahat lagi nggak kasih kamu makan."

"Aku nggak suka Om masakan kayak gitu. Enakan aku makan ikan asin, tempe, sayur asem sama sambel terasi..." jawabku tanpa jeda, terserah dia mau bilang selera kampung.

Dia sangat lahap memakannya, melihat mimik wajahnya menikmati makanan itu membuatku senang. Sepertinya sesuai selera lidahnya. Lagi makan saja wajahnya begitu tampan, jadi penasaran siapa wanita yang ingin dia lamar? Dadaku tiba-tiba terasa sesak memikirkan itu.

"Enak Om?" tanyaku.

"Em." Hanya itu yang kudengar.

"Kamu kalau mau ketawa, ketawa aja. Semalam kamu ngintip aku kan di ruang tamu?" Kata Alister menatapku dengan wajah datarnya.

"Aku nggak sengaja, Om. Sumpah deh." Tidak ada balasan Alister. "Om jangan marah ya," sambungku melihat Om belum merespon ucapanku. Siapa coba yang mau ketawa lihat suaminya mau ngelamar perempuan lain, saraf kepala si Om agak kelipat kayaknya.

"Bisa nggak sih kamu jangan panggil aku Om, Om. Emang aku pendofil, nikahin anak-anak." Ucapnya dengan ketus, kali ini aku yakin dia benar-benar marah. Lalu aku harus panggil apa dong? Di kampung panggil Mas, apa bisa aku sebut itu.

"Mas--Mas Alister," ucapku ragu-ragu lalu dia meluruskan matanya padaku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tatapannya seolah menghipnotisku. "Nggak papa Mila manggil Om Mas?" tanyaku.

"Itu lebih bagus daripada Pak," ucapnya, tanpa melihatku. Aku tersenyum. Apa ini berarti hubungan kami semakin dekat. "Udah sana ambil makanan kamu, dari pada liatin aku terus."

Eh, masa Mas Alister salah tingkah aku liatin makan, mukanya merah gitu kayak pakek blush on. Apa ini mata aku saja yang rabunan. Aku menggeleng. "Aku belum laper Mas, liatin makan kamu aja aku udah kenyang." Aku menatap piring Omelet yang tinggal sedikit lagi. Nyesel bikinnya cuma satu.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang