Bab 34 Secangkir kopi

6.8K 399 12
                                    

POV: Mila.

Seminggu setelah aku tahu anak dalam perutku telah berpulang, aku harus menerima kekecewaan dibatas kemampuanku. Rasanya tenggorokanku menelan beribu-ribu duri hingga aku tak bisa bicara, menutup mulutku pada siapa pun yang berkunjung ke kamar ini. Menolak laki-laki yang membiayai perawatanku untuk masuk ke kamar ini. Sepertinya Tuhan menempatkan tembok diantara aku dan Alister agar aku pergi ke arah lain.

Tante Nandia dan Nenek sering berkunjung, setiap hari malah, menghabiskan waktu menemaniku dengan cerita-ceritanya yang lucu. Fabian juga sering berkunjung membakan makanan. Tapi segalanya tak membuatku lebih baik. Kehilangan anak menghanyutkanku dalam kesedihan dan keterpurukan.

"Mila, kata dokter kamu udah bisa pulang hari ini."

Aku terdiam, menatap ke arah jendela kaca melihat cahaya biru luas tersebar dari warna-warna lain, awan-awan putih bergerak sebagai gelombang lebih pendek. Mengapa langit berwarna biru? Mengapa aku lahir ke dunia ini?

"Kamu masih gak mau liat Alister? Dari semalam dia nungguin kamu di luar." Setelah Meira menepuk punggungku lembut, kelopak mataku bergerak.

"Aku belum sanggup ketemu dia, Mei. Aku ingat anakku kalo liat dia."

Kini giliran Meira terdiam, lalu dia menangis.

Aku ingat saat Alister berkata kami akan berpisah, mengatakan hal-hal dingin satu persatu. Dan sekarang aku kehilangan janinku, anak kami berdua. Ini salahku terpuruk dalam kesedihan, terlunta-lunta di jalan hingga terjatuh berulangkali. Memaksakan tubuhku untuk baik-baik saja hingga lupa ada yang harus kujaga dalam perutku. Coba katakan wanita mana dalam situasiku bisa menemui suaminya.

"Mila?" suara Alister terdengar. Aku membelakangi laki-laki itu. Menutup mata seolah aku tertidur. " Mila sudah bangun? Dia ada keluhan, ada yang sakit?" suara Alister jelas bernada khawatir tapi tidak mempengaruhiku.

"Kamu ngapain masuk? Mila lagi gak mau diganggu sama kamu." itu suara Meira.

"Apa Mila ada keluhan? Dia udah lebih baik?" Alister mengulang kembali pertanyaannya. Aku mencekam selimut merasakan ada yang membelai rambutku lembut dari belakang. Aroma yang sangat kukenali, yang selalu membuat detak jantungku berdebar-debar. Namun sekarang, sentuhan itu justru membuatku tercekik dan hampir tidak bisa bernafas. Mataku terpejam kuat, rasanya ingin menggigit lidahku sendiri.

Tolong Mei, jauhin laki-laki ini dari aku. Aku membencinya. Dia hanya kasian padaku, dia tidak pernah peduli padaku. Dia hanya kasihan seolah aku adalah pengemis.

"Tolong biarkan dia istirahat. Jika kamu seperti ini dia bukannya lebih baik. Dia gak mau ketemu kamu!" suara Meira membentaknya. Tidak terdengar balasan Alister. Laki-laki keras kepala itu mana mungkin menurut.

"Gak bisa! Sudah berapa hari ini dia gak bicara padaku. Di sini kamu bukan siapa-siapa, dia istriku kamu gak punya hak mengaturku."

Meira terkekeh. "Istri? Baru sekarang kamu sadar status Mila adalah istri kamu? Biar kamu tahu ya, dari awal kamu menikahi Mila--dia sudah menganggap kamu suaminya. Masa depan dia."

Hidungku sakit menahan air mata, Meira memang sahabat yang paling mengerti aku. Apa yang kurasakan wanita itu lebih paham. Tapi rasa sakit ini tidak ada yang bisa mengerti.

"Tolong tinggalkan kamar ini!"

Rasa sakit menyeruak dalam dada ini, seharusnya dia tidak mengabaikan aku dan janinku. Aku tidak percaya dia khawatir padaku walaupun nada suaranya seperti menahan tangis. Aku belum siap melihat wajahnya.

Tiba-tiba suasana hening. Apakah dia sudah pergi?

"Dia sudah pergi dengan wajah emosi tingkat dewa."

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang