Bab 19 Terbongkar

6.2K 366 0
                                    

Tin Tin... Tin....

BRAK

"HEH! JALAN DI PINGGIR JALAN, MAU MATI KAMU!"

Mobil yang hampir menabrak Mila malah berteriak. Untung saja cuma kena serempet. Mila menatap kakinya yang memar sambil meringis.

"Dia yang nabrak malah dia juga yang teriak."

"Gakpapa Neng?" seorang wanita menghampiri. Mila menggeleng dengan tersenyum, menahan perih lututnya. Saat Mila berdiri hendak berjalan, matanya menyipit mengeram kesakitan.

"Gapapa Bu. Saya masih bisa jalan."

"Itu kakinya udah berdarah, ayok aku anterin ke dokter." Seorang laki-laki menawarkan diri. Baru Mila sadari dia sudah menjadi tontonan banyak orang. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.

"Ndak papa kok, Mas. Aku masih bisa jalan. Gak perlu ke dokter." Mila memaksa jalan dengan tertatih, menjauhi kerumunan itu. Sampai di warung pinggir jalan Mila berhenti lalu air matanya mengalir begitu saja. Dia duduk di bangku tempel milik warung itu.

"Ini sakit lhooo. Ndak kuat aku." Mila menangis sesenggukan. Jika lecet seperti ini sudah biasa untuk Mila, di kampung dia sering panjat pohon hingga jatuh. Tapi tidak pernah menangis. "Aduh.... Ini kaki aku kenapa sakitnya sampai ke hati ya."

"Aku ini tolol. Jalan ndak pakek mata, kalau aku mati gimana? Mana ndak bawa KTP ini." Mila terus mengomel, ada yang aneh di hatinya. Hatinya serasa ditusuk-tusuk jarum melihat Alister berpelukan dengan wanita lain. Mila ingin menepis perasaan itu, tanpa dia sadar sekarang perasaan itu malah semakin besar.

Mila takut Alister akan berubah padanya. Dia tidak punya siapa-siapa, apa yang bisa dia lakukan tanpa Alister? Dia butuh Alister dalam hidupnya, hanya saja hati laki-laki itu bukan untuknya.

Tak lama laki-laki yang tadi menawarkan diri ingin membawanya ke rumah sakit menghampiri Mila, lalu berjongkok di hadapan wanita itu. Mila terkejut, mereka saling bertatapan sebentar, lalu laki-laki itu meringis melihat luka Mila berdarah.

"Ini kakinya kalo gak diobati bisa infeksi, Mbak." Ujar Fabian, . "Atau ada keluarga yang bisa dihubungi, biar minta jemput."

Meskipun Alister adalah suaminya namun dia masih segan mengatakan hal itu pada orang asing. Dia membungkuk melihat lukanya, apa Alister akan cemas melihat dia sakit?

"Aku gak punya keluarga, Mas. Ini kalo lutut aku infeksi, bisa dipotong gitu?" tanya Mila dengan polosnya. Laki-laki itu hampir tertawa mendengar penuturan Mila. "Aku gak mau lhoo gak punya kaki. Aku gak mau pincang." Membayangkan saja tidak berani.

"Gak sampe dipotong, Mbak. Ini cuma tergores doang. Palingan kamu cuma perih aja sewaktu mandi." Terang Fabian. Mila bernafas lega, dia sedikit mengagumi wajah tampan Fabian.

"Aduh... Jangan panggil aku Mbak toh Mas. Kayaknya Mas yang lebih tua." Protes Mila, kali ini wajah laki-laki itu mengkerut.

Lagi-lagi Fabian menahan tawa geli. "Iya gak Mbak lagi... aku Fabian." Dia mengulurkan tangan pada wanita itu. Mobil Fabian tadi ada di belakang mobil penabrak itu, dia melihat wanita ini berjalan seperti hilang arah. Tapi karena mobil penabrak tidak bertanggungjawab Fabian berinisiatif sendiri, toh hari ini dia punya banyak waktu luang.

"Mila aja Mas. Panggil Mila." Ucap Mila menyambut uluran tangan Fabian. "Ini gak usah ke dokter bisa? Pake obat merah udah sembuh ini." Mila keukeh tidak mau diajak ke rumah sakit.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang