Bab 24 Tanpa pengaman

12.3K 389 0
                                    

POV: Alister.

Di tengah usahaku menormalkan diri, dia malah memintaku untuk duduk di dekatnya. Aku mengamati Mila yang menggigit bibir bawahnya, anak itu pasti sedang gusar di bangku belakang.

Tidak, tidak! Untuk kali ini aku tidak akan membiarkan gairah menguasai diriku. Dia bukan budak pemuasku, tapi kan dia istriku juga. Bukankah itu kewajibannya. Di luar perjanjian kami. Sial! Aku meruntuki diriku.

"Mas." suaranya bergetar. "Kamu ndak dingin?"

Aku tidak berniat untuk merespon, tetapi Mila terus saja mengganggu dengan ekpresi kedinginan dan terlihat lelah. Dia berharap aku memberikan kehangatan padanya, tangan Mila menepuk bangku kosong di sampingnya. Aku menarik nafas sebelum berpindah ke sampingnya, Mila bergeser agar aku duduk lebih luas.

"Mila?" Aku memperhatikan wajahnya yang tersenyum tipis dengan tubuh yang menggigil--memandangnya dengan khawatir. "Kamu gakpapa?" Dia tidak menjawab hanya mencondongkan tubuhnya mendekat padaku, aku memeluknya memberikan kehangatan. Dan aku pun mencari kehangatan darinya.

Merasakan tubuhnya menempel denganku, suara iblis-iblis di kepalaku mulai menyiksaku.

"Kayak gini lebih hangat," dia tersenyum menggodaku. Tubuhnya juga mulai stabil tidak gemetar seperti tadi. Sedangkan aku menderita dengan gairah yang muncul. Aku pernah bilang kan, Mila tidak perlu melakukan apa pun juniorku akan bangun begitu saja tanpa melakukan foreplay. Hidungku kini digoda oleh aroma vanila dalam tubuh Mila.

Aku melepaskan syal yang melilit di lehernya, melihat kulit putih yang sangat indah. Dan juga jejak yang kutinggalkan.

"Aku kan sudah melarang memakai parfum ini. Kenapa masih dipakai sih," ucapku sengaja memasang ekspresi datar. Mila merespon dengan senyuman manis dan pelukan erat. Suara hujan dan petir menjadi alunan music yang indah malam ini. Seakan kami sedang syuting film romantis dalam suasana menyeramkan.

Ini perempuan paling takut gelap sama hujan, aku berharap bisa menggantikan kenangan buruknya menjadi indah. Tapi aku belum menemukan caranya, jangankan memberi kenangan manis. Lihat bintang sama bulan saja tidak bisa.

"Aku penasaran, kenapa Mas sangat mencintai Kezia," bisiknya. Dan pertanyaan itu merusak moment ini. Matanya terlihat redup, pandanganku turun pada lehernya yang kuberikan jejak tanpa ia tahu.

"Karena dia perempuan." Aku tersenyum, entahlah hatiku menolak menyakiti Mila terlalu dalam lagi. Matanya yang hitam menatapku, bibirnya yang pucat kemerahan sedikit terbuka. Dan aku membelai lehernya dengan lembut. Dia menggeliat kegelian---Damn it! Itu yang kusuka. Wajah malu-malu Mila memporak-porandakan gairahku yang semakin tidak bisa kukendalikan.

"Aku juga perempuan," kata-kata itu meluncur dari mulut Mila, nafasnya menerpa wajahku. Dia membiarkanku mendaratkan ciuman ke pipinya. Kini wajahnya bersemu merah.

"Aku sudah lama mengenal Kezia dia yang menemaniku saat aku kehilangan kedua orangtuaku. Kezia memberiku perhatian saat aku terpuruk." Aku menyentuh pergelangan tangannya yang indah. "Bisakah kamu menjauhi Fabian? Jangan tersenyum padanya, please. Pada laki-laki mana pun." Aku tahu betapa brengseknya aku.

Dia meraba otot-otot lenganku, aku tahu bukan hanya aku saja yang gila. Tapi dia juga menginginkannya. "Dingin banget, Mas." Lalu dia memelukku erat. Wahhh... Hebat, dia sedang bermain-main denganku. Dia pasti menyadari yang mengeras di bawah sana.

Aku mengangkat dagunya dan menempelkan bibirku lembut pada bibirnya. Dia tidak terkejut, malah memejamkan matanya. Tanganku menelusuri kaki jenjangnya, dengan sekali angkat aku membuatnya ke atas pangkuanku. Dia pasti tahu setelah ini akan terjadi apa.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang