Mila tidak dapat konsentrasi pada pekerjaannya. Duduknya tidak tenang, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Rasanya seperti pesawat yang tiba-tiba mendarat pada tempat yang salah... Bisa-bisanya dia melakukan hubungan badan dengan Alister, laki-laki yang dia benci. Mimpi apa dia semalam.
"Mila... Melamun apa sih?" tanya Meira mengejutkan Mila di sampingnya. "Dari tadi aku perhatiin diem aja."
"G-ak ada.." Mila tergugup salah tingkah, pipinya merona membayangkan wajah Alister. Tapi disaat bersamaan dia marah karena Alister masih berhubungan dengan Kezia. Kemudian Mila menyibukkan diri dengan ponsel pintarnya.
"Tumben diem, biasanya udah ceramah pake toa pagi-pagi." Sindir Meira lagi.
Mila memasang wajah cemberut masih menatap layar ponsel, entah apakah dia sedang menunggu kabar dari seseorang.
"Mila... Baju yang kemarin mau kapan di-posting? Soalnya aku mau ngecek barang." Alona menghampiri, kedua tangannya membawa kardus ukuran kecil berisi pakaian.
"Serah kalian deh... Aku percaya sama kalian, kan udah pada ngerti. Aku males mau gerak." Mila membenamkan kepalanya di atas meja, matanya melirik ponsel yang telah dia letakkan di atas meja.
Dia ingat malam itu Alister berulangkali membisikkan kata cinta. Merayunya dengan lembut dan mengatakan gombalan-gombalan maut yang membuat Mila--jujur saja dia terbuai. Namun laki-laki itu sampai kini belum menelponnya. Apa mungkin menemui Kezia, tadi pagi dia mengangkat telepon Kezia di ponsel Alister. Harusnya setelah Alister membaca pesannya di kertas pria itu berusaha lagi meyakinkan.
Apa yang mereka lakukan semalam tidak ada artinya? Keraguan berputar-putar di benaknya.
Satu tangan Mila mengetuk-ngetuk meja, membuat suara bising. Pikirannya melayang kemana-mana. Bodohnya dia memberikan apa yang Alister mau, malah dengan berkali-kali. Sedangkan sekarang mungkin pria itu sedang bersama Kezia, wanita obsesinya.
"Ada apa katakan?" Meira menuntut cerita dari Mila, wajah Mila membuat dia penasaran.
"Berantem sama Alister, ya?" tebak Alona. Sedetik kemudian Mila menghadap pada wanita tinggi itu. Tatapannya mengintimidasi.
"Sejak kapan kamu ada hubungan sama Fabian?" tanya Mila. Alona tertawa tersipu.
"Sejak kamu bilang dia cuma dosen... ya aku pepet terus lah," kata Alona tanpa malu-malu. "Aku tahu kalian gak ada hubungan makanya aku nikung. Waktu itu dia dateng ke sini kamunya gak ada. Aku temenin ngobrol. Terus kita dekat deh, tukeran nomor terus lanjut ketahap berikutnya."
"Dasar konyol," komentar Meira, mendengus.
"Hari gini ada cowok ganteng dianggurin ya sayanglah..." Ujar Alona seakan-akan Fabian itu barang.
Mila bermaksud menanyakan hal di kafe waktu itu, kenapa malam itu mereka pulang duluan. Tapi niat itu diurungkan, ingin berhenti memikirkan Alister. Beberapa menit kemudian mereka memasukkan pakaian ke dalam paper bag untuk dipaketkan.
Meira dan Alona asyik berdebat karena hal sepele. Hanya karena tulisan Meira seperti ceker ayam wanita itu dihina-hina oleh Alona sampai ke tulang-tulang. Tapi lidah Meira juga tidak kalah pedas, karena merasa gebetan Mila ditikung Alona. Menit kemudian mereka terbahak tidak jelas membuat Mila menggeleng prihatin pada dirinya sendiri. Dia yang paling muda, rasanya dia yang paling dewasa diantara mereka.
Saat sedang sibuk-sibuknya tiba-tiba beberapa pria masuk tanpa seizin mereka. Tampangnya sangar dengan pakaian seperti preman. Parahnya lagi Mila mencium ada aroma alkohol saat pria itu bicara.
"YANG NAMANYA MILA MANAAA..." seorang berjaket hitam menendang kursi kuat.
"Kalian siapa? Mau ngapain ke sini?" tanya Mila terkejut. Ketiga pria itu terkekeh dengan wajah sangar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Lãng mạn( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...