"Semoga ya Mei kita bisa dapetin proyek ini." Ujar Mila antusias. "Aku yakin banget bakal maju usaha kita." Salah satu perusahaan besar menawarkan kerja sama pada mereka.
"Tapi Mil--"
"Kenapa lagi, Mei?" tanya Mila melihat wajah Meira tak seantusias dirinya.
"Modalnya besar, kalo kita ambil proyek ini kerjaan lain gak bisa kita ambil, Mila." Ujar Meira menghentikan makannya.
Mila melirik Meira kesal bercampur geli. "Kamu aneh di kasih rejeki malah nolak. Gak baik tahu." Ucap wanita berpakaian blouse hitam dan rok panjang bahan transparan berwarna putih dengan belahan di atas dengkul sangat elegan dan manis membalut tubuh rampingnya.
Satu jam yang lalu mereka meeting dengan klien. Mila dan Meira akhirnya memutuskan menghabiskan waktu di kafe untuk makan siang. Kafe itu tidak terlalu ramai karena hanya orang-orang tertentu yang mampu memboking tempat itu.
"Aku tahu maksudmu, Mei. Tapi kurasa gak ada salahnya kita coba. Aku yakin semua pelanggan kita bakalan puas, gak pa-pa modal gede yang penting kepuasan pelanggan, kan? Gak usah mikir terlalu jauh deh," balas Mila lalu tertawa renyah.
"Bener sih, tapi--" Meira terdiam sejenak. "Yaudahlah, aku ikut kamu aja." Akhirnya Meira mendesah pasrah. Ia sadar Mila yang dia kenal telah berbeda. Lebih dominan dan susah untuk dimengerti. Namun ada hal juga yang harus mereka pikirkan. "Asal kamu gak lupa aja, kita juga butuh modal untuk tempat usaha baru. Om kamu itu pasti gak akan ngelepasin begitu aja tempat itu."
Mendengar itu Mila pun terdiam sebentar menatap Meira, mereka belum cukup modal untuk menyewa tempat apalagi membeli. Tetapi, Mila bersikeras akan mempertahankan tempat itu. Mila memejamkan matanya sesaat.
Seminggu lalu Anton Hartono mengirim preman-preman untuk menggertaknya agar meninggalkan tempat itu. Tapi Mila yang sekarang bukanlah wanita lemah dan cengeng. Mila tetap bersikeras hingga Anton pun menempuh jalur yang tak terduga. Dua hari yang yang lalu Mila diancam akan dimasukan ke penjara oleh yang katanya orang yang mengerti hukum--dengan brutal dia mengusir pria berpakaian jas itu dengan mengguyur mereka dengan garam.
Katanya garam itu bisa ngusir hantu dan ular...
Awalnya Mila tak ingin berdebat, dia mau memberikan uang sewa pada Anton tapi dibawah harga pasaran. Itu juga sudah untungkan di bayar, karena sebenarnya tak siapa pun diantara mereka bisa memiliki tempat itu secara pribadi.
Meira yang melihat Mila termenung mencoba mencairkan suasana . "Oia kamu udah cek penjualan sari yang kita live'in kemarin. Tiap hari penjualannya meningkat. Untung kamu yang jadi modelnya," puji Meira. Menurutnya Mila itu sudah menjelma sebagai sosok idola kaum wanita. Cara berpakaiannya sekarang modis, elegan, dan manis. Berbeda dengan Mila yang dulu memakai baju sederhana tanpa polsesan make-up.
"Penjualan dress yang di post Alona juga lagi banyak yang order. Lagi rejeki kita, Mei."
"Amin ya."
Sementara seorang laki-laki berbadan tegap dengan kemeja putih, berjas tanpa dasi tampak seperti sedang mencari seseorang. Bibirnya membentuk senyuman tipis saat melihat ke arah meja diujung sebelah kanan, di dekat kaca dinding. Dua orang wanita sedang mengobrol diselingi tawa mereka.
"Hei... Mila. Kebetulan banget kamu di sini." Elkana memasang wajah sok kaget. Mila dan Meira serempak menoleh. "Boleh aku gabung?" Astaga, apa itu terlihat terlalu ketara. Meira tersenyum, ingin mempersilahkan tapi takut membuat Mila tidak nyaman. Elkana masih menunggu jawaban dengan berdiri. Matanya melihat Mila dengan senyuman.
"Duduk aja El bangkunya masih ada yang kosong." Meira menawarkan mendahulukan Mila. "Kebetulan juga aku ada urusan, jadi titip Mila ya." Seolah memberikan akses untuk Elkana mendekati Mila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Romance( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...