POV Alister.
"Jalannya rusak, banyak jeblokan... Siapa yang akan berkunjung ke sini? Benar-benar menyusahkan." Aku berjalan ke arah pintu masuk utama, setelah hampir satu jam berkeliling halaman taman gedung ini. Menurutku ini hanya bangunan bobrok tiga lantai yang tak layak lagi dijadikan tempat usaha.
"Pak, taman belakang belum bapak cek?"
"Kamu pikir aku akan mengotori sepatuku dengan tanah becek itu? Suruh saja orang untuk mengukurnya."
Jovanka mengikuti di belakang bersama seorang wanita yang memakai dres merah menyala. Mungkin dia bekerja di sini, orangnya sedikit aneh... Berapa kali aku mengejek tempat ini dia sama sekali tidak marah. Malah tersenyum... Bodoh.
Bangunannya usang, membuat siapa pun yang melihat pasti bosan. Kalau saja si pemilik punya selera tinggi tempat ini bisa di sulap menjadi lebih cantik dengan gaya Eropa pakai mural.
Aku tidak mengatakan tempat ini tidak layak di tempati.
"Apa kalian tidak mau merenovasi tempat ini?" tanyaku melirik jijik pada tembok yang berlumut disamping pintu.
"Dananya masih belum terkumpul, Pak," wanita itu menelan ludah. Lalu tanganku bergerak menyentuh lukisan yang sudah lama--lumayan untuk penghias tembok.
"Kotor sekali," ujarku melihat telapak tanganku penuh debu. "Jo..." dengan cepat sekertarisku membuka tasnya lalu mengeluarkan tisu basah. "Berlama-lama di sini akan membuat kita terkena virus," kataku sambil mengelap tangan dengan tisu, lalu melempar asal--tepat kebagian dada Jovanka. Dan itu tidak disengaja.
"Sepertinya aku harus berhenti dari perkerjaan ini," suara pelan Jovanka bisa kudengar. Lalu aku berdeham agar melanjutkan berkeliling.
"Oh... Shittt!!" teriakku saat merasakan sepatu pantofelku menginjak sesuatu, lalu terdengar suara cicit yang membuatku jijik. "Sial, apa itu...?" Kepalaku membungkuk lalu melihat--tikus sedang berlari terbirit-birit.
"Bia--sanya ti--dak ada ti--kus Pak."
Jovanka menahan senyum mendengar cicitan wanita itu, sedang wajahku berubah merah menahan amarah. Tanganku bergerak membenarkan posisi dasi yang serasa mencekik leherku.
"Bagaimana bisa kalian jadikan tempat ini tempat usaha? Apa kalian tidak malu jika ada yang datang berkunjung?" gerutuku. Wanita berbaju merah itu mengarahkan jalan menaiki anak tangga ke lantai dua dengan wajah kaku seakan-akan dia sedang kutelanjangi.
Di lantai dua tidak terlalu buruk dari lantai dasar. Tempatnya cukup menarik dan bersih. Lukisan pohon beringin menghiasi dinding. Barang-barang lama diubah menjadi decoration, untuk background foto lumayan aesthetic seperti yang sedang musim di Instagram. Aku melirik ke arah dapur--mereka mengubahnya seperti bar dan tempat duduk santai.
"Apa kalian punya wine?"
"Maaf Pak, hanya ada air putih dan air hangat." Jawabnya, aku mengibaskan tangan tanda menolak.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah ruang kerja mereka, di sana ada sofa coklat juga. Aku duduk dengan bahu menyender ke belakang sofa, kaki kanan kuletakkan diatas dengkul kaki kiri. "Kamu..." Dengan jari telunjuk ke depan wajahnya. "Suruh bossmu keluar, biar aku bicara dengannya." Aku memutuskan, memandang intens pada wanita berambut panjang digerai itu.
Wanita itu terdiam, tampak berpikir. "Maaf, dia sedang gak bisa."
"Kalau gitu aku tunggu. Karna aku gak mau mundar-mandir lagi ke sini, buang-buang waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Romans( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...