Prolog

32.2K 752 3
                                    

Terkadang karena keadaan, terpaksa atau apa pun itu membawa kita pada perjalanan hidup berlika-liku. Seperti aku berada dalam bubble yang tidak ada ujungnya. Entah jam berapa sekarang, mataku tak bisa terlelap dan pikiranku melayang. Dari waktu ke waktu sebenarnya aku berkesempatan untuk kabur di sini, tapi entah mau kemana.

Di luar sana seperti tidak ada tempat untukku. Namun lebih dari itu aku tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan pegangan. Hari-hari yang kuhabiskan di tempat ini tidak jauh berbeda dengan keseharian pembantu.

Suara petir mengagetkanku.

Malam ini hujan lebat, aku menyelimuti tubuhku dengan selimut lalu kulapis lagi dengan handuk. Karena selimut saja tidak bisa menghangatkan tubuhku yang berbaring di atas tikar. Dinginnya lantai menebus tikar menusuk hingga ke tulangku.

Sorot lampu dari cela kayu di atap cukup memberi penerangan di kamarku, setidaknya aku bisa melihat walaupun samar-samar. Kata Tanteku hemat listrik makanya kamarku tidak dipasang lampu. Kututup mataku supaya cepat terlelap, berharap malam cepat berlalu dan aku cepat dewasa. Ah, bodoh bukan! Mana mungkin dalam waktu semalam aku langsung dewasa. Umurku sekarang masih 16 tahun tapi aku ingin cepat dewasa.

Suara petir menggelegar membuatku semakin takut. Tante dan Omku belum pulang, mereka pergi ke acara syukuran saudara. Mungkin tidak akan pulang karena hujan sangat lebat. Ya, aku tinggal bersama Tante Gani, adik ayahku. Orangtuaku meninggal karena kecelakaan mobil.

"Milaaa... " suara Om Danu terdengar kuat, kupingku sangat sensitif jika mendengar suaranya. Kenapa dia pulang? Perasaanku tidak enak. Aku memegang kuat selimutku.

Laki-laki itu kelakuannya tidak bisa dibilang manusia. Suka bermain judi, malas bekerja, suka marah-marah di rumah. Kalau makananku tidak enak dia tidak segan melempar ke arah wajahku.

"Milaaa."

Aku tersentak terbuka tepat pada saat suara pintu terbuka. Melihat pria bermata hitam menatapku dengan mesumnya sambil menyeringai. Aku bangkit terduduk. Kuremas selimutku kuat sangking takutnya. Om Danu bukan pertama kalinya datang ke kamarku dengan seringai seperti itu, untungnya waktu itu ada Tante Gani. Dan sekarang siapa yang akan menyelamatkanku, Tuhan tolong..

Aku semakin mempererat selimutku. "Om, ngapain ke sini? Tante mana?"

"Oh, itu Tantemu nginap katanya. Ndak bisa pulang hujannya kuat. Om kasihan sama kamu makanya pulang." Dia menjawab dengan senyum yang membuatku jengkel.

Aku semakin takut, pria itu berjalan dua langkah dari ambang pintu. Samar-samar aku masih bisa melihat dia tersenyum dan menatapku liar ke seluruh tubuhku, padahal masih tertutup selimut. Aku yakin dia berpikiran mesum.

"Mila, pijitin Om ya. Saya capek, Tantemu nggak ada di rumah jadi kamu aja ya."

Aku menggeleng kuat, dia menyebut namaku lembut tapi membuatku jijik. Namaku Karmila, dipanggil Mila. Tapi aku tidak suka kalau pria itu yang memanggil.

Lihat dia sedang meraba-raba bagian tengah celananya. Mataku dingin melihatnya. Aku menarik selimutku semakin ke atas tertutup hingga ke leher. Sekarang aku yakin yang merusak kunci kamarku pria bandot ini. Tangannya menarik selimutku lalu melemparnya asal.

"Om, saya nggak mau. Tolong keluar dari kamar saya sekarang." Aku berucap tegas ditengah-tengah ketakutanku.

Bukannya pergi dia malah semakin dekat dan matanya menatapku lapar. Aku ingin lari dan berteriak tapi suara hujan seperti menenggelamkan suaraku. Aku tidak tahu mau kemana kalau aku lari dari sini.

"Tolong om saya nggak mau," ucapku lagi bernada panik.

Berkali-kali dia berusaha menciumku, tangannya mencekamku saat aku melawannya. Aku tidak akan menyerah, tidak akan rela di sentuh laki-laki bedebah seperti dia. Dia kembali menyentuh tubuhku, bibirnya meluncur ke pelipisku dengan nafas yang bisa kudengar jelas terengah-engah.

"Saya cuma megang bentar, masa nggak boleh." Suara mesumnya membuatku jijik. Dia seperti di rasuk iblis, kekuatannya mencekam tanganku hingga seperti meremukkan tulang tanganku. "Ayolah Mila... kamu jangan ngelawan nanti juga kamu suka."

"Om tolong lepasin saya!" Sekuat tenaga aku melawan hasrat pria brengsek ini.

"Jangan ngelawan kamu! Udah untung saya tampung kamu, ngasih tempat tinggal dan makan. Sekarang saya minta bayarannya."

Dia mendorong tubuhku sampai terbaring di lantai. Tikar yang aku pakai tadi sudah bergeser, bantal juga sudah tergeletak jauh. Aku memukul badannya yang gemuk, tidak ada bau alkohol dalam nafasnya. Dia sadar dengan kelakuannya.

"Om jangan sentuh saya. Mila janji akan bayar biaya hidup Mila di sini." Aku menangis kencang setelah dia menamparku kuat.

"Dari mana kamu duit? Sok mau bayar, udah kamu nggak usah bayar. Cukup kamu puasin saya."

Saat dia sedang membuka bajunya kesempatanku menendang milik berharganya sekuat tenaga. Teriakan kesakitan keluar dari mulutnya dan aku tidak membuang kesempatan. Aku berlari keluar dari kamar itu dengan rambut berantakan menerjang hujan tanpa tujuan.

Tangisku kuat meratapi hidupku, tapi aku yakin tidak ada yang mendengarnya. Tengah malam ditemani hujan seperti ini orang akan lebih memilih untuk tidur. Aku tidak tahu apakah tempatku benar-benar di sini. Aku tidak punya seorangpun untuk diajak bicara.

Aku pernah berharap untuk menghilang saja dari dunia ini. Dunia ini terlihat begitu gelap dan aku menangis sepanjang malam. Apakah aku akan merasa lebih baik jika aku menghilang?

Aku melangkah gontai dikuasai rasa kesal dan lelah, pakaianku mulai mengering di tubuhku. Suara rintik hujan menemaniku hingga ke pondok milik tetangga. Aku sanggup tidur di sini ditemani suara jangkrik tanpa cahaya lampu dari pada kembali ke sana.

"Hidup kok gini banget Tuhan... berat buat Mila," monologku. Menarik kakiku ke depan dada dan memeluknya. Aku tidak mau menjadi objek pelecehan pria hidung belang. Aku bersumpah hanya suamiku yang akan menyentuhku.

Tetanggaku Nia, dia baru pulang dari Malaysia dua bulan lalu. Kami bertemu di pasar pagi tiga hari lalu. Katanya tempatnya bekerja sedang merekrut calon pekerja baru. Belum tahu jelas apa pekerjaan yang akan ditawarkan. Mendengar cerita dia bangun rumah dan punya ATM mastercard, aku berpikir kenapa tidak aku coba.

Perlahan mataku tertutup dan masih sesenggukan. Tapi, entah kenapa aku selalu ingat pesan mama "Mila jangan takut ada Tuhan yang selalu melihat Mila."

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang