Bab 29 Anakku

7.8K 371 1
                                    


Pov: Mila.

Banyak cara menuju Roma, mungkin istilah itu sama juga dengan maksudnya 'Banyak cara menggugurkan kandungan' Aku kira cuma ada di film-film seorang laki-laki meminta istrinya untuk gugurin anaknya. Waktu di club malam juga aku pernah mengantarkan teman Meira ke dukun beranak untuk menggugurkan anaknya. Ada juga yang namanya Leni, nyuruh aku beli jamu-jamuan dan ternyata itu untuk menggugurkan kandungan. Minum alkohol dengan berbotol-botol supaya keguguran.

Yang paling membekas di ingatanku adalah saat aku membersihkan kamar mandi seorang wanita penghuni asrama tempat tinggal kami berteriak kesakitan dan dibawahnya bercucuran darah.

Semenjak itu aku takut hal seperti itu terjadi padaku, merasakan sakit untuk menghilangkan anak dalam perut. Malangnya aku sekarang di posisi itu. Tapi yang membuatku hancur adalah karena aku sangat menginginkan anak ini. Dia baru 3 Minggu dalam perutku.

Aku berbaring di ruangan luas bercat putih. Air mataku berlinang membasahi pipi hingga bajuku, rasa sesak dan sakit berkecamuk dalam diriku melihat Mas Alister sedang bicara dengan wanita yang aku tahu dia adalah dokter kandungan.

Dengan jelas aku mendengar Mas Alister meminta anak ini di aborsi. Dia laki-laki kaya raya, uangnya tak akan habis tujuh turunan. Mudah baginya membuat dokter dan perawat itu melakukan perintahnya dengan bayaran besar.

Beberapa menit kemudian dokter dan perawat mengangguk pada Mas Alister-- lalu laki-laki tak punya hati itu hendak keluar tanpa menoleh padaku.

"Mas... tolong jangan lakuin ini. Kasihanin anak ini kalau kamu gak kasihan sama aku." Ucapku dengan nada tinggi. Marah dengan kemalangan yang akan menimpa anakku. "Mas, tolong jangan lakuin."

Mas Alister berhenti di ambang pintu tanpa menoleh padaku. "Mas aku bisa ngerasain keberadaan dia di sini." Aku mencoba duduk lemah di tepi ranjang mengelus perutku.

Tapi dia masih tidak ingin menoleh padaku. "Sewaktu aku di dekat kamu, dia dengerin suara kamu Mas. Dia juga pasti ingin bertemu kamu." Air mataku mengalir terus-menerus. Aku memohon belas kasihnya. "Kamu gak mau nyentuh perut aku?"

"Dia anugrah paling indah dalam kehidupan aku hidup dengan kamu."

Harusnya janin ini disambut dengan bahagia, tapi karena dia berasal dari perutku kehadirannya menjadi tidak diinginkan. Aku benar-benar merasa hancur sekarang,

"Maafin aku Mila."

Tangisku pecah.

"Sabar ya Bu." Seorang perawat mengusap punggungku, memintaku untuk tenang. Hal yang tidak bisa kulakukan. Coba dia diposisi aku? Apa masih bisa bilang sabar. Aku memejamkan mata dengan air mata berlinang... tolong aku... aku ingin mempertahankan bayiku. Aku sama frustasinya dengan dia, hamil di usia muda bukan keinginanku. Tapi bukan berarti aku harus menghilangiannya.

"Jangan nangis ya dek, sakitnya gak lama kok." Aku turun dari ranjang dan berlari ke arah Mas Alister saat dokter itu mendekat dengan jarum suntik yang menakutkan. Aku merangkul leher Mas Alister mencari perlindungan. Aku berjinjit, menempelkan wajahku ke leher Mas Alister dengan terisak. Tangisku sangat keras hingga tidak bisa bernafas.

"Gak pa-pa sayang. Aku temenin, aku gak akan kemana-mana." Dia mencium rambutku lalu mengusapnya.

"Aku gak mau." Aku berkeras. "Biarin aku merawat anakku, aku mohon Mas."

Aku hanya ingin anak ini, merawatnya dan melihat pertumbuhannya. Aku ingin merasakan detak jantungnya di perutku, bagaimana mungkin aku sanggup membuangnya. Dia bukannya menghentikan semua kegilaan ini. "Mila, kita harus lakuin ini." Dia mengeluarkan kata-kata tidak punya hati.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang