Bab 33 Berjalan sendiri

7.1K 401 5
                                    

Ini sudah gelas ke lima Kezia meneguk minumannya, setiap kali ia ingin meneguk gelasnya, "Ini gelas terakhir," gumamnya. Menegaskan pada dirinya sendiri. Tapi setelah segelas habis dia masih menuangkan wine ke gelas kosongnya. Telapak tangannya mulai gatal, seperti disinggapi ulat bulu. Hal itu biasa terjadi saat dia tertekan. Pesta dansa tidak lagi menarik perhatiannya, suhu tubuhnya naik dan kelopak matanya hangat. Namun Kezia berusaha untuk tidak menangis.

Baru kemarin rasanya Kezia mengenal Alister, dekat dan menjadi sahabat. Laki-laki itu selalu baik padanya, selalu menuruti keinginannya dan menjadi pendengar yang baik ketika dia bercerita. Tiba-tiba Alister melamarnya--membuat patah hatinya pada Fabian terobati.

"Bagaimana bisa semua laki-laki tidak mencintaiku." Kezia menatap gelasnya dengan senyum masam. "Kasihan kamu Zia, sebentar lagi Alister akan melupakanmu."

"Tidak! Alister sudah memberikan cincin padamu, bermata diamond. Itu artinya dia memilihmu." Kezia menundukkan kepalanya, menatap cincin yang bergantung di kalungnya. "Kenapa laki-laki senang sekali membuat wanita patah hati?" Dia berceloteh pada dirinya sendiri.

Wanita patah hati itu berulang kali meneguk minuman alkoholnya seperti meminum air, patah hati membuatnya hilang arah. Tapi hatinya berkeras Alister masih mencintainya. Matanya menatap kerumanan orang-orang yang berdansa, dengan langkah sempoyongan dia berjalan dari belakang orang-orang berdansa menuju panggung.

Kezia berdiri di atas panggung, memandang pada sekelilingnya. Mencuri perhatian para tamu dengan bicara pakai mic.

"Kebanyakan orang berkata bahwa obat jatuh cinta adalah menikah. Dan sekarang aku sedang jatuh cinta."

"Tahukah kalian? Satu-satunya orang yang memenuhi syarat untuk menjadi suamiku adalah Alister Bagaskara." Kezia melemparkan pandangannya pada Alister yang tengah berbincang dengan rekannya. Seluruh mata di gedung itu kini melihat Alister dan Kezia. Menurut mereka kedua orang itu sangat sepadan untuk menjadi pasangan.

"Dia selalu menungguku, menghabiskan waktu bersamaku. Dan dialah orang mengetahui segala kekuranganku. Hingga suatu hari Alister melamarku di bandara." Dengan santai Kezia membuka kalungnya dan menunjukkan ke udara cincin emas putih bermata diamond, mengkilap di mata orang yang melihatnya.

Deretan kursi tempat keluarga Alister duduk memelototi Kezia, apalagi Nenek--dia kurang cepat memperkenalkan Mila sebagai menantu di keluarga mereka.

Sementara di sisi lain, seorang wanita terdiam tak berdaya.

Satu hal yang Mila sadari mendengar penuturan itu tidak ada cela kecil untuknya masuk ke dalam hati Alister. Bahkan suaminya sudah melamar Kezia--wanita itu sudah menerima lamaran suaminya.

Harusnya Mila tahu akan jadi begini. Dia berdiri mematung tak mampu berlari ke arah Alister yang sedang berjalan ke arah Kezia. Terpaku menatap suaminya dan wanita lain di sambut sorakan orang-orang yang mendukung pasangan itu, tidak ada yang melihat keberadaan Mila. Karena dia pun sadar keberadaannya adalah ketiadaan yang tak pernah ada.

Seakan dirinya adalah sepatu kaca yang berjalan di atas paku, merasa sakit. Mila memberanikan diri melangkah ke depan setapak demi setapak, pedih amat sangat. Bibirnya kelu dihadapan orang-orang di sekelilingnya.

Terkadang mati rasa tidaklah buruk, tidak merasakan sakit hati saat orang yang disayang bersama yang lain. Dan mungkin dia akan turut bahagia jika saja Mila tak mencintai Alister.

Dengan ragu Alister naik ke atas panggung, mendekati Kezia. Sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa agar tidak ada yang terluka. Dia menatap Kezia yang berdiri tidak seimbang. Mata gadis itu merah, kepedihan terpampang jelas dari sorot matanya. Zia... andaikan waktu bisa berputar kebelakang.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang