Bab 35 365

7.2K 411 5
                                    


POV: Alister.

365 hari. Waktu cepat sekali berlalu, semua memori kita, semua kenangan kita semakin buram... Rasanya tidak siap untuk perpisahan ini. Aku belajar dari senja. Senja mengajarkanku untuk menerima sebuah perpisahan dengan jaminan pertemuan hangat esok hari.

Aku berharap banget kita ketemu lagi.

Tak apa kamu membenciku dan aku hanya menjadi bagian dari masa lalumu, tapi izinkan aku tahu langkahmu. Kamu selalu hadir disetiap relung waktuku. Namun sekarang hilang bagaikan diterjang ombak lautan, hilang tanpa jejak.

Haruskah begini perpisahan kita?

"Pak... Pak Alister... Pak?"

"PAK ALISTER BAGASKARA... "

"Ya... Ya yaaaa Jovanka aku mendengarnya!" Aku terbangun karena suara Jovanka yang membuat kupingku sakit. Suara Jovanka memang kuat walaupun dia bicara pelan. Aku meringis, kepalaku sakit seperti terhantam besi. Terduduk di sofa dengan kesadaran belum penuh, pakaian yang melekat di tubuhku masih pakaian yang kemarin. Dengan keadaan yang berantakan. Kemeja yang sudah keluar dari celana dan dasi yang entah sejak kapan sudah terikat di kepalaku.

Selama setahun kehidupanku seperti ini.

"Kamu jadi perempuan lembut dikit, Jo. Manggil itu yang lembut... Gimana kalau aku punya penyakit jantung?" Dahinya mengkerut mendengar ucapanku. Kepalaku terasa semakin berat saat bergerak.

"Pak, nanti ada meeting pukul 10 pagi." Jovanka mengingatkan. Aku melirik jam dinding, 9.30 pagi. "Saya sudah menyuruh supir Bapak mengambil pakaian ganti tadi." Jovanka menyodorkan stelan pakaian yang masih dihanger.

Hampir saja aku mengumpat dengan makian karena badanku yang berat. Kakiku terasa kaku dan kunang-kunang seperti berputar di kepalaku. Sial! Entah berapa botol minuman yang kuhantam tadi malam--Setiap malam malah.

"Bapak minum lagi? Penampilan Bapak benar-benar kacau, apa Bapak gak bosen tidur di kantor setiap hari?" tukas Jovanka menyodorkan air hangat. Sekertaris yang baik, dia mengetahui apa yang kuperlukan saat ini. Sudah menjadi kebiasaannya setiap hari dia melihatku seperti ini.

Dia ku gaji bukan untuk juru nasehat. "Oma-ku bisa sakit jantung liat keadaan aku seperti ini. Kalo gak aku yang sakit jantung dia marahin setiap hari." Gerutuku sambil membuka kancing kemejaku. "Mendingan kamu cariin obat menghilangkan mabuk. Cepat sana! Obat itu harus ada setelah aku mandi." Bentakku dengan kondisi masih terpengaruh minuman keras.

"Baik, Pak."

Sebagian besar waktuku berada di kantor. Bekerja dan minuman keras. Makan dan mandi di kantor, menikmati wine seorang diri di kantor hingga tertidur nyenyak di sofa. Tidak ada tempat untukku pulang. Semua mengingatkanku tentang dia.

Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, tapi dia seperti Lucifer yang mengutukku untuk merindukannya sampai ke urat nadiku. Yeah.. dengan tidak tahu malunya aku merindukannya setiap hari. Aku sudah mencarinya kemanapun, tapi dia seperti tidak pernah berwujud--hilang dan tak satu orangpun tahu keberadaannya. Hanya Jovanka, satu-satunya tempatku menceritakan perasaanku tentang Mila... Yeah, Itupun karena pengaruh alkohol.

"Pak, satu lagi pertemuan untuk nanti siang." Dia terdiam sejenak, melihat kerut di wajahku. "Tapi jika Bapak keberatan saya bisa tukar jadwal untuk besok. Sepertinya Bapak harus istirahat hari ini." Gila! Dia pikir aku laki-laki lemah hanya karena kurang tidur dan minum jadi sakit.

"Kamu ngatur boss kamu, hah?" Aku menegakkan tubuhku di tempatku duduk. Menatapnya galak.

"Gak Pak, kalau Bapak yakin kita lanjutkan hari ini." Dia menunduk hormat. Aku tidak pernah meminta dia mengosongkan jadwalku, bahkan bila perlu tidak ada jeda. Hingga pikiranku bisa teralih. Kedua tangannya yang merangkul berkas bergetar.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang