Bab 10 Menelan kekecewaan

8.8K 408 2
                                    

POV: Mila.



Aku tidak tahu takdir seperti apa yang sedang kujalani. Aku anak yatim-piatu, tidak pernah merasakan belaian kasih sayang orangtua sejak kecil. Om Danu dan Tante Gina yang merawatku, jauh sekali dari kata-kata sayang yang mereka lakukan padaku. Hingga akhirnya aku bersyukur, mereka menjualku ke club malam dan bertemu Alister Bagaskara. Orangtuaku pasti bangga karena aku yang tidak tamat sekolah ini bisa menikah dengan pengacara tampan.

Meira sudah memperingatkanku supaya tidak membawa perasaan dalam hubunganku dengan Alister, dia satu-satunya yang aku ceritakan tentang pernikahan kami. Tapi yang kutakutkan malah terjadi. Pertama kali melihatnya, aku membencinya. Laki-laki yang membookingku dan berniat mengambil keperawananku di hotel berbintang. Tuhan seperti membolak-balikan kehidupanku, laki-laki itu telah menghalalkanku sebelum dia mengambil kesucianku.

Tidak perduli umurku 17 atau belum, yang penting kami pasangan halal. Aku pikir karena kasihan atas kejadian yang menimpanya. Tapi tidak, aku melakukan dengan kemauanku sendiri. Karena dia suamiku, dengannya aku merasa kembali hidup.

Aku terbangun dengan kondisi ditutupi selimut tebal. Mataku melirik jam dinding mengarah pukul delapan pagi. Di sebelahku masih ada laki-laki itu, tertidur nyenyak. Kami melakukannya berulang kali hingga subuh. Aku jadi malu.

Dengan tertatih aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasa nyeri masih sangat terasa. Tapi yang membuatku takut adalah dia meninggalkanku setelah ini.

Setelah mandi dan berganti pakaian aku dan suamiku makan dengan hening. Wajah orang di depanku datar seperti tidak terjadi apa-apa diantara kami, kenapa jadi canggung begini.

"Masih sakit?" suara itu dari Mas Alister, akhirnya dia bicara. Aku menggeleng kuat, seakan ikhlas melakukan itu.

"Nggak usah merasa bersalah Mas, udah kewajiban aku kan," jawabku tanpa berpikir.

"Harusnya dari dulu saja aku lakuin itu sama kamu, ngapain nunggu berbulan-bulan." Kata Mas Alister, aku berdehem dengan gugup. "Pastiin kamu nggak hamil, mulai sekarang aku bakalan sering-sering ngelakuin itu sama kamu." Sambungnya. Sudah pasti wajahku merah padam.

"Ehm, emang Mas masih stress? Masih sedih karena lamarannya ditolak?" tanyaku, mengingat ucapannya tadi malam.

"Enggak, tapi aku ketagihan di atas ranjang sama kamu," ucapan frontal itu masih dari mulut Mas Alister, dia menatapku seakan ingin melakukannya lagi. Yang tadi malam...

"Emm, anu.. Mas bisa nggak jangan bahas ginian masih pagi," ucapku kikuk. Yang dibawah aja masih perih masa mau ditusuk lagi.

Kemudian Mas Alister menambahkan makanan ke atas piringku lagi, padahal aku sudah kenyang. Ini sudah piring ke tiga, dan sarapan yang terbanyak yang pernah kumakan.

"Kamu harus makan banyak biar bertenaga, biar bisa ngimbangin tenaga aku di ranjang. Semalam kamu cepat banget capeknya, padahal aku masih mau nambah," hampir saja makanan dalam mulutku terlempar ke wajahnya. Aku mengambil gelasku dan meneguknya sampai habis. Sudut mataku melihatnya sedang tersenyum puas.

"Oia Mil, aku udah mutusin. Kamu ikut aku tinggal di Jakarta." Ucap Mas Alister tanpa melihatku, mataku terbelalak sempurna. Aku pikir dia akan meninggalkanku, apa sekarang Mas Alister ingin memperkenalkan aku pada keluarganya? Jangan bermimpi Mila.

"Beneran nggak pa-pa Mas aku ikut? Nanti Keluarga--"

Belum aku selesai bicara dia sudah mendahului ucapanku, dan ucapannya membuatku sedih.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang