Sembilan dari n

2K 280 30
                                    

Buseeeet pagi banget ....


(9/n)


    Sop Pak Min yang ada di Jalan Mataram jadi tempat singgah Gira dan Benya. Kalau dari arah Prawirotaman, letaknya setelah hotel Nueve dan sebelum bunderan, kanan jalan. Gira dan Benya cukup sering makan di sini. Gira paling suka sop paha dengan dua nasi, Benya selalu pesan sop sayap.

   Benya turun dari motor lalu melepas helm. "Pegel banget, ya ampun. Kenapa nggak pakai Scoopy-nya Carta aja sih tadi?"

    "Masih di garasi, males ngeluarin." 

    Gira bisa maklum dengan mood jelek Benya yang berlarut-larut, tapi dia nggak menyalahkan Hendro juga karena temannya itu nggak berbuat apapun. Alias Benya manyun itu udah biasa. 

    Di sisi lain situasi mereka nggak lagi canggung, seenggaknya itu yang Gira rasakan. Di jalan tadi dia sudah ngobrol biasa dengan Benya. Dia akhirnya ingat untuk bertanya kabar Bapak dan keluarga Benya di Semarang meskipun dijawab singkat-singkat dan kadang diiyain doang. Antara Benya masih malas ngobrol dengan Gira karena perkara Hendro atau Benya emang nggak dengar beberapa pertanyaan Gira karena sedang motoran.

    Tapi perkara kecanggungan itu nggak berlalu begitu saja dari pikiran Gira. Dia masih merasa ada yang mengganjal di antara ia dan Benya. Canggung dengan istri sendiri. Kurang kacau apa itu?

   Lama-lama dia berpikir yang sama dengan teman-temannya, kalau rumah tangganya memang sudah sedikit berbeda karena pertemuan mereka yang makin jarang. Bukan soal seks-nya saja, ya mungkin itu termasuk, tapi komunikasi mereka itu yang sekarang Gira pikirkan sungguh-sungguh. Terkesan kurang terurus. Kuantitas kurang, kualitasnya apalagi. Makin ke sini, seolah makin jadi basa-basi saja.

    "Mau apa, Ra? Paha aja, kayak biasa?" tanya Benya ketika mereka di depan pelayan untuk memesan. Gira manggut saja. "Sop paha satu, sayap satu, pisah, nasi dua."

    Gira menoleh memastikan. Seperti bertanya, nasinya dua aja?

    "Aku nggak pakai nasi," jelas Benya mengerti apa yang dipertanyakan suaminya.

    "Udah makan to?"

    "Belum sih."

    "Ya, sekalian!" suruh Gira agak maksa.

    "Belum laper."

    "Minumnya apa, mbak?" sela pelayan.

    "Es teh tawar satu, air mineral satu," jawab Benya lagi.

    Mereka lalu mencari tempat duduk dan tak lama sop mereka sudah disajikan.

    "Ben. Mau ngomong serius." Gira kembali membuka percakapan sambil mencampur sambal ke mangkuk sopnya.

    "Apa tuh?" sahut Benya.

    "Nggak tau kamu ngerasa yang sama apa enggak, tapi aku ngerasa kagok waktu kamu dateng tadi."

     "Hah?"

     "Hah?" tiru Gira lalu ketawa pelan. Rasanya agak lega setelah mengatakan hal yang mengganjal itu. Ia menyendok sedikit kuah sopnya, mencicipi sebelum lanjut bicara karena nampak Benya masih belum paham. "Aku ngerasa kudu ngomong dan bahas ini sama kamu aja."

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang