Tiga puluh sembilan dari n

1.9K 225 66
                                    

Kangen Ade nggak, sih, Hon?









   Dengan alasan sudah terlalu malam dan jalan Solo-Jogja sering terjadi kejahatan di malam hari, anak-anak memaksa Gira dan Benya tidur di kos. Gira dengan entengnya melempar keputusan kepada Benya, bikin tatapan berharap anak-anak langsung menyerangnya.

  Dan di sini lah mereka sekarang, di salah satu kamar kos di baris paling depan yang kebetulan kosong. Jauh lebih sempit dari kamar mereka, cuma ada satu kasur double size terlentang di atas lantai tanpa alas, lalu satu lemari kosong yang sebelahnya termangu meja belajar yang sudah dua tahun tak tergunakan. AC pun nggak nyala. Benar-benar mengingatkan masa nge-kos dulu.

   Setelah memasang sprei tadi Benya langsung berbaring di kasur. Yah, nggak ada alasan khusus, memang nggak ada tempat lain untuk duduk saja. Sementara Gira menemui temannya yang datang ke kos dan mereka ngobrol sebentar di depan gerbang. Baru saja ini suaminya kembali ke kamar.

   Benya masih sesekali memperhatikan Gira saat pria itu menatap ponsel di pinggir kasur. Ingin tau apa ayahnya sudah menghubungi Gira lagi atau belum karena sampai sekarang ayahnya juga belum menghubunginya. Jarang ayahnya mau mendengar perkataannya.

  "Ayah telepon kamu, Ra?" Akhirnya, Benya tetap memastikan.

  Gira menatap Benya, kemudian duduk bersila di pinggir kasur. "Enggak. Kenapa?" Selamat. Benya berhasil bikin suaminya penasaran. "Soal Pras?" Dan menebak dengan benar.

  Benya mengangguk. "Tapi udah oke."

  "Telepon kamu?" tanya Gira kurang percaya. Matanya melirik layar ponsel. Benya langsung was-was, pasti di kepala Gira sudah ada rencana mau menelepon ayahnya. Nggak boleh!

  "Tadi siang, tapi udah kok. Udah kamu jangan telepon, daripada ribet lagi. Malas aku, Ra," cegah Benya dengan nada menitah, nggak mau dibantah.

  Gira menurut setengah rela, kemudian mengambil tempat di sebelah Benya. Di kasur yang nggak seberapa luas itu, mereka akhirnya berdempet-dempetan. Gira masih sibuk dengan ponsel. Suaminya itu duduk selonjor di sebelahnya bersandar tembok. Benya jadi agak pusing mendapatkan pinggang Gira.

   "Tahun baru beneran mau sama anak-anak?" Benya mengajak bicara lagi.

   Gira menaruh ponselnya ke kasur, lalu bangkit untuk mematikan lampu. "Yah, turutin aja kalau emang pada serius. Kamu ada acara?" Kamar menjadi gelap hampir gulita. Gira kembali ke kasur dan berbaring di hadapan Benya.

   "Hm, ada beberapa undangan, tapi nggak gitu penting.” 

   “Bisa datang dong.”

   Benya makin menekan tekukan lengannya di depan dada untuk menahan debaran jantungnya yang kesenangan. “Nanti lihat dulu. Lha kamu emang nggak ada acara sama gengmu? Jelek banget kalau kamu bikinin anak-anak acara, tapi terus ninggalin mereka di Tawangmangu gitu aja."

   "Enggak lah paling. Udah touring juga.”

   Oke. Melegakan.

   “Aku jadinya touring pas natal.” 

   Benya mengangguki saja pemberitaan itu. 

  “Kamu cocok punya adik banyak, Ra," ujar Benya setelah lama memperhatikan manik mata Gira dalam keadaan kamar yang gelap.

   "Kenapa?"

   "Ya, kamu peduli banget sama mereka, ngemong banget," tutur Benya dengan senyum, "tapi kamu emang bisa ngemong semua orang, sih, apalagi ngemong ibu-ibu. Juara."

   "Berarti cocok punya istri banyak?" goda Gira jenaka. Sedangkan Benya langsung mengernyit seperti tertusuk jarum.

  Dia tau Gira cuma bercanda, tapi Benya nggak sanggup menganggap candaan itu sebagai candaan biasa karena rasanya terlalu menohok. "Awas aja!"

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang