(21/n)
Letak rumah mereka nggak begitu jauh dari Jalan Malioboro sehingga jalan kaki nggak sampai dua menit, mereka sudah bergabung dengan kesibukan orang-orang di jalan yang paling terkenal di Jogja tersebut. Ramai, tapi nggak terlalu padat seperti dulu. Selain karena bukan weekend, sekarang Malioboro pun sudah lebih tertata.
Trotoar semakin lega. Hampir nggak ada pedagang emperan, pedagang kaki lima, warung tenda, atau lesehan di sepanjangnya. Pedagang yang biasanya menggunakan trotoar sekarang sudah dipusatkan ke tempat yang dinamakan Teras Malioboro. Ada dua tempatnya, Teras Malioboro Satu berada di Margo Mulyo dan Teras Malioboro Dua di utara kantor DPRD.
Meskipun orang Malioboro, Benya belum pernah mencoba keduanya, kalau Gira sudah beberapa kali. Apa Gira ajak Benya ke situ aja? Yang paling dekat dengan rumah mereka sih yang kedua. Searah dengan jalan mereka sekarang pula.
"Mau makan apa, Ben?" Gira akhirnya mengajukan pertanyaan yang tadinya Benya ajukan di rumah.
"Ngikut kamu aja deh."
Gira mencekal lembut lengan Benya, kemudian menarik wanita itu hingga jarak mereka lebih rapat.
Benya menoleh seolah ingin memastikan maksudnya. Gira belum menjawab, tetapi dua orang mengendarai skuter lebih dulu melewati Benya dari arah belakang dan itu sudah jadi penjelasan. Setelah itu pun Gira langsung melepas lengan istrinya itu lagi. Takut Benya nggak nyaman.
"Teras Malioboro aja, ya? Yang sebelah DPRD."
"Oiya, aku malah belum pernah ke situ."
"Emang tadi niatnya mau ke mana?" Gira jadi penasaran.
Benya kembali melihat jalan di depan mereka. "Tadinya mau ketemu temenku di depan Burger King."
Gira memperhatikan wajah Benya lagi. Meski keadaan jalan remang, penerangan oleh lampu-lampu jalan nggak begitu membantu, tapi garis-garis wajah Benya tetap tegas di matanya. Dari sudut matanya yang lebih tinggi dari Benya, Gira tetap bisa melihat alis mata wanita itu yang cukup tebal, bulu mata yang nggak lentik-lentik amat, hidung mancung agak gendut, dan juga bibir tipis wanita itu yang paling sering Gira rindukan.
Gira cuma memperhatikan dalam diam meski sebenernya dia ingin sekali menyentuh cukup seujung jari kulit wanita itu, sampai-sampai dirinya mempertanyakan hal yang dipikirannya sendiri saja konyol. Setakut itu nyentuh istrimu sendiri?
Terus mau dikemanain lagi pernikahan ini?
"Nggak jadi?" Gira memastikan.
"Enggak."
"Temenmu siapa?" Gira kembali bertanya.
"Temen kuliah. Ada lah." Benya menatapnya sekilas.
"Lagi liburan di Jogja apa orang Jogja?" Gira mendengar dirinya sendiri menuntut dan dia jadi penasaran, apa alasannya? Curiga atau karena Gira ingin tau lebih banyak hal yang Benya lakukan? Yang pertama itu agak buruk, sedangkan yang kedua sudah lama banget nggak dia lakukan.
Benya menjawab sambil mengusap lengannya. "Bukan orang Jogja, cuma sering di Jogja."
"Beneran nggak jadi ketemu?"
"Enggak. Lha kamu sih ikut, Ra."
Gira nggak menyangka jawaban itu bikin dia nggak nyaman banget. "Emang kenapa kalo aku ikut?"
"Dia mau curhat. Kalau ada kamu ya sungkan."
Ah, curhat. Gira nggak sempat berpikir ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
N?
General FictionGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...