Dua puluh sembilan dari n

1.1K 196 64
                                    

29/n

    Terbangun berdua dan sama-sama demam. Andai itu bisa disebut romantis. Tapi terserah lah mau disebut romantis atau miris, paling enggak sudah ada hal yang kompak di antara mereka. Begitu saja. Hidup sekarang rasanya makin berat, jadi harus bisa melihat suatu hal dari sisi manapun agar saat senang nggak keterlaluan dan saat nelangsa pun nggak habis-habisan. Menilai hidup dengan spektrum, hidup nggak cuma hitam atau putih. Perlu disadari pula, koin nggak cuma punya dua sisi.

   Tapi mungkin ini memang bisa dikategorikan romantis, sebab berkat keberanian Gira mencium Benya—di bibir—pagi ini, mereka mendapati suhu tubuh masing-masing panas, terutama di bagian wajah dan leher.

   Cukup romantis? Enggak. Oke! Wong selanjutnya juga langsung bikin drop kok.

   Benya menghentikan ciuman secara tiba-tiba ketika berniat untuk memperdalam ciuman mereka, tapi malah mendapati rasa panas menyengat telapak tangannya yang baru saja menempel di pipi suaminya. Padahal saat itu ujung lidah Gira lagi nyaman-nyamannya reuni dengan hangat dinding mulut Benya, tapi dihempas gitu aja.

  Punggung tangan Benya langsung menggantikan telapak tangannya yang tadi menangkup kedua pipi Gira. Merasakan panas menjalar ke punggung tangannya, dia membelalakkan mata dengan kepanikan. "Badan kamu anget." 

   Gira menelan ludah dan senyumnya. Lagi ciuman! Lidahnya lagi di dalam 'sana' tadi itu! Mikir banget badan anget!

   "Biasa ini, bangun tidur. Ini kamu juga," sahut Gira kalem. Tidak bisa disembunyikan wajah senyumnya meski sekarang agak dongkol sebab ciumannya terganggu.

   Benya mengecek panas di keningnya sendiri yang baru saja dipastikan oleh punggung tangan Gira. Benar yang Gira bilang, badannya juga panas, malah lebih panas dari badan Gira. Benya bangkit duduk, demamnya semakin meyakinkan saat dia juga merasa pusing ketika kepalanya meninggalkan bantal. Memaksa turun ke lantai, selanjutnya Benya berjalan cepat untuk mengambil alat swab antigen dari tasnya yang kemarin diletakkan di sofa.

  Gira masih berbaring di kasur berusaha nggak menertawai tingkah parno istrinya. Dia menerima saja saat Benya menghamburkan bermacam-macam alat swab antigen ke perutnya. Muka istrinya nggak bercanda, Gira rasa soal ingin melanjutkan ciuman disimpan dulu saja.

  Setelah itu istrinya masuk ke kamar mandi, sepertinya mencuci tangan dan membasuh muka, lalu keluar tak lama kemudian dengan raut muka lebih serius sudah seperti Stephen Strange di hadapan pasien bedah. "Kemarin di arisan tu Bu Jinah batuk-batuk. Aku sempet di sebelah dia," ungkap Benya serius sambil menuju ke kotak obat di sebelah lemari.

   Kadang paniknya wanita itu bikin bayangan buruknya lompat seratus lantai langsung ke level paling pucuk. Ini yang disebut alay, ibu-ibu. Tapi itu lah namanya naluri wanita, bapak-bapak, jadi dimengerti saja!

  "Kayaknya nggak secepet itu juga kali, Ben." Berbanding terbalik dengan Benya, Gira menukas santai dan terkekeh. Dia juga bangkit, kemudian duduk di pinggir ranjang dengan kaki menapak lantai. Benya seperti nggak mendengarnya. Kini wanita itu berdiri di sebelah ranjang pada sisi Gira duduk, menyelipkan termometer badan ke bibir Gira, lalu mengambil satu alat swab yang ada di pangkuan Gira.

   Gira menatap wajah Benya yang dari bawah seperti ini jadi kelihatan agak gemuk. Efek hatinya yang lega mungkin, cuma menatap wajah Benya saja dia sudah ingin tersenyum lebar. Tapi kemudian dia menatap alat swab di tangan Benya. Saat itu termometernya berbunyi, Benya langsung mengecek hasil pengukurannya.

   "37,1." Benya letakkan termometer tadi ke nakas, lalu kembali perhatian pada alat swab di tangannya.

   "Nggak ke klinik aja ini?" Gira bertanya.

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang