35/n
Benya ingin sekali nggak percaya ucapan Gira, tapi dia sendiri sangat kenal siapa suaminya itu, lelaki yang nggak bisa berbohong.
Gira bilang, Ayu suka Carta.
Carta adik iparnya, lelaki yang ngomong aja malas, apalagi sama perempuan. Benya belum bisa berhenti tertawa setiap membayangkan, mau percaya saja susah, tapi rasanya plong sekali. Rasanya satu tali yang mengikat dadanya sudah lepas walaupun masih banyak tali lain yang membebat erat dan setidaknya semalam dia tidur nyaman di pelukan suaminya yang sekarang punya hobi baru mengelus-elus kulit punggungnya.
Beberapa malam sebelumnya dia tidur dengan nggak nyenyak sama sekali karena banyaknya perselisihan di hatinya, sedang kepalanya pun nggak berhenti memikirkan kedekatan suaminya dengan Ayu. Mendengar bagaimana interaksi mereka yang akrab, bagaimana Ayu tau Gira, dan selalu ada di sekitar Gira benar-benar menyiksa Benya, membuatnya sangat khawatir dia akan kehilangan pria itu. Karena begitu juga lah ceritanya dengan Ade dimulai. Benya nggak mau itu terjadi pada Gira.
Benya sangat nggak tau diri, ya? Memang.
"Kok ada juga ya yang naksir Carta. Orang dideketin aja nyatek kayak ketek gitu lho," cetus Benya untuk yang ke-sekian kalinya sejak semalam.
Gira yang diajak bicara melotot, walau tawa juga terbentuk kelihatan dari air mukanya. "Aku masnya lho!"
"Ya, iya, enggak? Kamu juga pernah ngatain Carta gitu kok dulu!"
Mereka keluar rumah berdua dan sama-sama tertawa.
"Jangan dibahas lagi, Ben! Jangan kasih tau Carta juga, pokoknya anggap aja kamu nggak tau!" pungkas Gira. Sekarang matanya menatap serius Benya sambil mengunci pintu rumah. Dia beneran nggak mau nanti Carta menghindari Ayu kalau sampai tau hal ini. Kasihan Ayu. Pasti juga bakal kikuk keduanya, padahal rumah dekat begitu.
Benya menertawai suaminya. Gira bilang sudah dua tahun lalu dia memergoki Ayu suka memperhatikan Carta. Suatu hari pas Gira membeli makan sendiri di warung Ayu, dia iseng menanyakan itu, dan reaksi Ayu sangat menjelaskan kebenarannya. Tapi yang namanya Gira, tetap saja Gira. Sudah tau begitu, lelaki itu malah memilih nggak ikut campur dan kemudian berlagak nggak tau fakta itu.
Mungkin begitu lelaki pada umumnya, karena bukan urusannya, jadi nggak mau ikut campur. Tapi Benya tetap heran kenapa nggak dari kemarin saja Gira memberi tahunya, paling enggak kan biar Benya nggak menuduh Gira. Namun, akhirnya Benya pun nggak jadi heran karena memang begitu lah tabiat Gira. Cuma buat menyelamatkan dirinya, nggak mungkin dia membawa urusan orang lain, apalagi menyangkut perasaan.
"Ayu itu baru sebatas suka, kayaknya belum mau Carta tau. Ya, dari pada aku keceplosan kan mending aku lupain aja," itu kata-kata polos Gira semalam, sebagai imbuhannya dia juga bilang, "Ini aku jadi inget-inget lagi juga cuma biar kamu berhenti curiga. Udah, ya, sekarang jangan curigain aku lagi!"
Benya tersenyum masam tiap kalimat Gira terakhir itu berkelibat di ingatannya, sebab setelah itu hatinya selalu menghujam dengan kenyataan dan dengan pesan-pesan Ade yang dua hari ini dia abaikan. Memang nggak sepantasnya dia curiga pada Gira, nggak sepantasnya dia marah.
Dia malah seperti maling yang teriak maling.
Pagi ini matahari saja belum lama naik ke langit saat Benya dan Gira sudah siap berangkat ke Solo dengan Livina mereka. Mereka mau menengok kos-kosan yang letaknya di belakang UNS, yang seharusnya kemarin, tapi diundur hari ini karena kemarin Benya demam.
Di Solo, Gira memiliki enam kos-kosan dan empat rumah yang dikontrakkan. Dua kos-kosan berada di belakang UMS Surakarta dan empat yang lain ada di belakang UNS, lalu rumah yang dikontrakkan dua di antaranya berlokasi di Fajar Indah dan dua lainnya terletak di daerah Solo Baru. Kalau ditanya apa di luar Solo Gira juga punya kos-kosan dan kontrakan? Ada.

KAMU SEDANG MEMBACA
N?
General FictionGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...