(22/n)Gira dan Carta masih kecil ketika kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dua puluh tahun lalu. Gira masih di bangku SMP dan Carta masih anak SD.
Saat itu dengan alasan Gira belum berusia tujuh belas tahun, warisan dari kedua orang tuanya pun dipegang sementara oleh kakak ayahnya, atau pakdenya. Namun, yang nggak disangka harta itu malah dikuasai sepihak oleh keluarga pakdenya. Hidup Gira dan Carta nggak dipedulikan apalagi dijamin. Jadi meskipun orang tuanya meninggalkan banyak harta untuk mereka, Gira dan Carta hidup nggak terurus dan lebih kekurangan setelah peristiwa nahas kedua orang tua mereka.
Mengetahui Gira dan Carta diperlakukan tidak layak begitu, ayah Benya yang teman dekat ayah Gira akhirnya mengambil Gira dan Carta. Mengajak mereka tinggal di rumah dan menganggap kedua anak lelaki itu seperti anak sendiri. Dari makan, tidur, main, hingga sekolah oleh orang tua Benya ditanggung. Mereka juga diperlakukan tidak berbeda dari Benya dan Pras sampai Gira berusia tujuh belas tahun. Setelah Gira berusia tujuh belas, ayah Benya pula yang mengurus mengenai warisan ke pengadilan hingga akhirnya harta tersebut bisa dimiliki lagi oleh Gira dan Carta.
Lalu sekarang semua kebaikan yang sudah diberikan pada Gira itu, dianggap keluarga Benya sebagai alasan yang sah buat selalu meminta balas budi dari Gira.
Kalau hanya sekali atau dua kali dan permintaannya nggak membebani, mungkin masih bisa dianggap wajar. Masalahnya, ini dijadikan rutinitas keluarga Benya. Sampai seolah-olah Gira ini seperti segala solusi di balik masalah keluarganya.
Benya saja sudah nggak habis pikir pada keluarganya. Sejak saat SMA dia memang belum berani menegur ayahnya waktu itu, tapi dia sudah berkali-kali memarahi Gira dan menyuruh lelaki itu supaya berhenti memberi apapun yang keluarganya minta. Sayangnya, Gira terlalu sungkan untuk menolak. Alhasil, kebablasan dan diporoti sampai sekarang.
Yang Benya sangat nggak habis pikir pada Gira, bahkan cuma karena sungkan, lelaki itu sampai nggak bisa menolak saat kedua orang tuanya meminta dia menikahi Benya yang sedang hamil anak lelaki lain.
***
Benya menelepon Pras setelah sampai di rumah. Sengaja dia nggak masuk ke kamar, melainkan ke dapur karena tau Gira pasti langsung ke kamar kalau enggak menonton TV di ruang keluarga. Dapur ini jauh dari tempat Gira nonton TV sehingga kemungkinan besar Gira nggak akan mendengar percakapannya. Itu tujuan Benya. Sebab sudah pasti, omongan Pras hanya akan menimbulkan keenggaknyamanan kalau sampai Gira dengar.
"Kenapa, Pras?" Benya sengaja menggunakan nada ketus agar Pras tau Benya nggak berkenan bicara dengannya.
"Ben, masa cuma sepuluh juta? Kan aku minjem tiga lima," jawab pria itu kontan, tanpa tedeng aling-aling.
Benya mendengkus sampai tertawa. Sudah dibela-belain sampai memasang muka tembok di depan Gira, kakaknya seenak udel bilang 'cuma'. "Kamu bisa baca nggak to, Pras?" Kekesalan Benya jadi dua kali lipat.
Dipikir Benya nggak punya malu? Dipikir Benya suka melakukan itu? Kalau bukan karena mencegah Pras ngomong langsung ke Gira dan sampai mengungkit-ungkit yang dulu, Benya pun nggak akan sudi menuruti kemauan Pras. Lebih baik dimusuhi, malah jelas nggak perlu berurusan.
"Maksudmu apa?"
"Baca WA ku baik-baik!"
"Emang apa?" Pras cuma menantang, Benya tau.
"Gira lagi nggak bisa minjemin kamu. Kebutuhan dia juga lagi banyak. Dia cuma longgar sedikit dan itu yang dia bisa bantu."
"Lha pie sih, Ben? Aku kan nembungnya minjem. Aku minjem tiga lima. Kebutuhan banyak, duitnya kan juga banyak."

KAMU SEDANG MEMBACA
N?
General FictionGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...