28/n
Setiap kali ada masalah yang belum selesai sebelum tidur, bisa dipastikan tidur malam itu akan nggak jenak sama sekali bagi Gira. Masalah yang belum selesai selalu bikin pikirannya nggak ikut istirahat waktu badannya tidur dan dia jadi mudah kebangun dalam tidurnya. Malam ini dia merasakan hal tersebut dan sepertinya Benya juga begitu.
Ini sudah yang kedua kalinya Gira terbangun dan membuka matanya karena gusar dalam tidur. Begitu kelopak matanya tersingkap penuh untuk yang kedua kali ini, ia agak terhenyak. Kalau yang pertama terbangun tadi dia menemukan pelukannya pada Benya yang masih terlelap sudah lepas, kali ini dia terbangun masih dengan memeluk Benya dan sebagai extra, dia juga mendapati Benya terbangun dan sedang mengamati wajahnya dalam diam.
Benya nampak kaget dan canggung, seolah sangat terpaksa nggak memalingkan tatapan saat mata mereka bertemu pertama kali tadi, tapi Gira nggak melihat keengganan lagi pada manik mata Benya yang dilingkari sembab.
Lalu sekarang apa?
Seharusnya, mereka bisa mulai bicara, tapi Gira malah ikut canggung.
"Ehm."
Gira berdeham dan seketika merutuk di dalam hati.
Jarak mereka yang cuma selebar pandangan terasa makin canggung gara-gara deham bodohnya. Benya sampai melipat bibir.
"Nggak bisa tidur?" Gira bertanya pelan sedetik kemudian sebagai usahanya memperbaiki situasi.
Terlalu hening kamar mereka sampai Gira bisa mendengar suara ketika Benya menelan ludah dan bisa menyimpulkan wanita itu sudah berniat menjawab pertanyannya. Dan akhirnya, suara istrinya ia dengar juga setelah menunggu satu detik yang lamanya terasa seperti berjalan melintasi Suramadu.
"Aku nggak maksud diemin kamu."
Gira tercenung mendengar kalimat balasan Benya.
Mata sembab Benya terpejam sebentar. "Aku cuma nggak tau caranya ngadepin kamu."
Gira mendesah dalam hatinya. Ada kelegaan juga gelak frustasi yang sama dengan yang Benya katakan. Andai aku juga tau caranya ngadepin kamu, Ben ....
Pernikahan kita nggak akan menyedihkan begini.
Andai dua hari kemarin mereka nggak mengalami beberapa percakapan yang sampai bikin urat tegang, mungkin Gira akan langsung mengangguk sekarang, memberi isyarat dan mengambil tingkah agar Benya menyudahi ucapannya sehingga mereka nggak perlu melanjutkan percakapan sentimentil yang akan membuat mereka keki selama bicara. Sayangnya, sudah terlalu sering mereka gagal berkomunikasi sampai harus menarik urat karena beberapa hal yang jarang dikomunikasikan. Apalagi dua hari terakhir, terasa banget jarak mereka dan ketegangan yang mudah sekali terpancing hal kecil. Gira harus menerima situasi keki ini ke depan, mereka nggak bisa terus menghindari pembicaraan yang sentimentil dengan alasan merasa nggak nyaman atau pilihannya harus merelakan pernikahan mereka semakin nggak jelas ke mana jalannya.
Gira mengingatkan dirinya agar tegas kali ini, hubungan mereka sudah terlalu buruk, terlalu banyak masalah nggak diselesaikan dan dibiarkan jadi jarak saja di antara mereka. Sudah cukup sekarang. Gira sungguh ingin pernikahannya jadi lebih baik. Setidaknya, dia ingin hidupnya yang hanya berdua dengan Benya ini bisa ia nikmati setiap hari.
Demi keinginan itu Gira harus menahan diri, dia harus menegakan hati melihat Benya menatapnya dengan ekspresi tersiksa seperti ini lebih lama lagi agar istrinya bisa mengatakan semua yang perlu mereka dengar dan Gira juga akan melakukan yang sama. Gira sangat yakin semua masalah, jarak, dan ketidakcocokan mereka solusinya adalah bicara dan mendengar. Mau itu hal yang melegakan, ataupun nggak enak, kecut, dan pahit sekalipun harus dikatakan dan didengar malam ini demi pernikahan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
N?
General FictionGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...