27/n
Hal yang paling membingungkan bagi Gira terjadi saat Benya diam. Ingin makan sesuatu, tapi diam. Ingin Gira melakukan sesuatu, tapi diam. Nggak suka Gira melakukan sesuatu, tetap diam. Marah pada Gira pun, diam.
Makin bertambah angka pernikahan mereka, sikap begitu nggak terhitung lagi udah berapa kali Benya andalkan. Dulu nggak sekerap ini. Dulu Benya mau membicarakan masalah, mendumel kalau keberatan, berteriak waktu marah, dan memberitahunya saat punya pemikiran, tapi makin ke sini berubah kebiasaannya, jadi mengandalkan diam.
Malam ini pun berakhir diam begitu. Benya nggak memberinya sepatah katapun, diam sejak meninggalkan dapur sampai saat ini mereka berbaring berdua di kasur. Gira kan jadi bingung. Pasalnya, kalau Benya sudah diam, kepekaannya mendadak macet dan setiap langkah yang mau dia ambil terlihat buntu di depan.
Pertanyaan paling besar di kepalanya satu; Benya kenapa?
Apa ada omongan Gira pada Pras yang nggak berkenan di hati Benya tadi dan itu alasan Benya diam seperti ini? Atau mungkin Benya malu seperti yang diungkapnya sendiri tadi? Atau Benya marah karena Gira terdengar arogan banget saat ngomong sama Pras? Bisa jadi ketiga-tiganya adalah alasan Benya diam saat ini. Mungkin Benya marah dan kecewa dan sebal dan lain lain padanya. Di kepala Gira cuma ada mungkin dan mungkin.
Sekarang Gira harus bagaimana? Pertanyaan ini bikin Gira seperti lelaki tukang mabok yang otaknya sukar berfungsi, tapi memang putus asa membuat dia bodoh separah itu.
Bagi Gira, nggak ada yang perlu dikoreksi dari perkataannya yang sudah jelas pada Pras. Gira nggak ingin lelaki itu menekan Benya lagi di kemudian hari saat membutuhkan pinjaman uang atau bantuan darinya. Sudah cukup Benya menanggung malu yang dia simpan sendiri selama ini. Sudah cukup juga kebiasaan keluarga istrinya-bergantung pada bantuan dan uangnya-jadi pengganjal pernikahan mereka. Gira memang berutang budi pada mertuanya, lebih dari hidupnya, tapi Gira merasa tetap dan harus ada batasnya.
Sebelum mereka menikah, kebiasaan keluarganya itu adalah hal yang paling dibenci Benya begitupun sampai sekarang, Gira tau. Alasan Benya akhir-akhir ini kerap dan terpaksa menuruti keluarganya adalah dirinya-Gira sendiri. Gira bukannya besar kepala dan kepedean, ini logika sederhana dan bisa dilihat langsung. Empat tahun terakhir Gira mulai membatasi memberi bantuan kepada keluarga Benya lagi karena merasa sudah membiayai terlalu banyak hal-hal yang nggak pokok dan mendesak, seperti dana buat pencalonan kades bapak, merenovasi rumah bapak dan ibu yang sebenarnya belum diperlukan, membelikan mobil baru padahal yang lama masih bisa dipakai, dan yang lain. Perubahan itu bikin keluarga Benya mulai bersikap agresif kalau meminta padanya sampai mengatainya kacang sudah lupa kulit dan nggak tau terimakasih. Benya cuma nggak ingin Gira mendengar lebih banyak ucapan keluarganya yang menyakitkan makanya dia menjadi perantara-Gira tau sifat istrinya-karena Benya sendiri juga belum bisa menghentikan kebiasaan keluarganya yang apa-apa terus mengandalkan Gira.
Setelah mendengar Benya bicara frustasi dengan kakaknya di dapur tadi, Gira tau Benya sudah muak dan menyerah dengan malu yang ditanggung sendiri. Sekarang Gira nggak ingin hanya diam saja mengenai hal itu. Ucapannya pada Pras tadi adalah langkah pertamanya dan dia nggak menyesal sama sekali. Kalau memang Benya nggak berkenan sama ucapannya, dia akan meminta maaf pada wanita itu, tapi nggak akan meminta maaf pada Pras. Kalau memang Benya malu, Gira bakal membuatnya percaya kalau bukan dia yang harusnya malu. Kalau Gira memang terlalu arogan tadi dan Benya nggak suka, dia akan minta maaf, dihukum pun dia mau.
Malasahnya, Benya cuma diam. Semua alternatif dan pikirannya sama seperti nggak berguna karena dia nggak tau ada apa dengan Benya dan apa mau Benya.
Kalau direfleksikan pada dirinya sendiri, saat ada yang membuatnya marah dan kecewa dan jengkel, Gira memang lebih memilih diam. Diam buat memikirkan dengan jernih-apa dan siapa yang menyebabkannya marah, buat mencari tau sejauh apa dia bisa menerima perlakuan orang itu, dan berusaha mencari solusi untuk emosinya sendiri. Kerap berakhir dengan pasrah dan ya sudah lah, dia bisa melupakan, dia toh nggak suka ribut, nggak tertarik dengan berkelahi. Apalagi cuma hal sepele, hal-hal menjengkelkan yang orang lain lakukan padanya, hal yang nggak lebih pantas dapat perhatian dari pasa kedamaian. Beberapa orang sampai mengatakan kesabarannya terlalu luas, Gira nggak menganggap begitu. Dia cuma punya tingkat toleransi yang lebih tinggi pada hal-hal yang nggak berkenan baginya saja karena sederhana, dia ingin hidup damai dari pada memuaskan diri meladeni tingkah orang yang kadang rese.
Masalahnya, Gira nggak yakin apa diamnya Benya ini sama dengan diamnya-untuk menenangkan diri dan mencari solusi untuk emosinya sendiri-atau sama sekali berbeda. Begitu lah, dia nggak tau pasti maksud Benya diam, nggak tau reaksi yang diharapkan istrinya, jadi nggak tau apa yang harus dilakukan meski alternatif di pikirannya sudah ngumpul segudang.
Ketauan kan betapa frustasinya Gira sampai kata-kata putus asa di atas terus dia ulang di lembar ini? Itu lah satu contoh putus asanya pria karena diamnya wanita.
Gira masing berbaring menyamping di belakang istrinya, bertahan meski sudah hampir satu jam hanya mendapat punggung wanita itu. Sedari tadi perhatiannya nggak lepas dari hela dan hembus napas Benya yang terbaca lewat gerakan bahu, sementara pikirannya nggak berhenti mengabsen sederet kejadian yang sudah lalu yang berakhir sama seperti ini. Kecut diingat, malam kemarin masih segar, dia didiamkan juga gara-gara pertengkaran mereka di bengkel. Tanpa sadar mulutnya sudah terbuka dan bicara, "Kalau tiap malem kamu diemin aku, aku nggak tau apa gunanya kita tidur sekasur."
Begitu selesai mengatakan sindiran yang disusun rasa putus asa-nya sendiri itu, Gira menyesal saat itu juga. Bukan itu maksudnya. Jelas bukan itu maksudnya.
Gira mendesah. "Maafin aku."
"..."
"Kamu diemin aku terus, aku sampai bingung harus gimana."
"..."
"Ben."
Gira memaksa punggungnya bangkit dari kasur. Sekarang dia terduduk dengan perhatian tetap pada bahu Benya yang menyembunyikan wajah istrinya itu dari penglihatan matanya. Dia menarik bahu Benya dengan sedikit paksa.
Sudah dia tebak sebelumnya, istrinya pasti menangis diam-diam.
Tangan Benya yang langsung sibuk mengusap air mata dan ingus begitu Gira membalikkan tubuhnya tadi Gira cekal dan palingkan dari wajahnya. Gira nggak tau gimana cara mengutarakan perasaannya yang merasa sangat bersalah karena nggak mengerti alasan istrinya menangis seperti ini, dia nggak mengucap satu kata pun dalam waktu yang lama, dan sekarang dia menyadari dia sangat bodoh karena bersikap seperti itu.
Dia berusaha bersuara. "Kita bisa bahas yang kamu nggak suka, jangan cuma diem, apalagi nangis diem-diem biar aku nggak tau."
Nggak ada respon. Istrinya membuka mata saja tidak.
Putus asa, Gira kembali berbaring. Menjaga agar Benya nggak memunggunginya lagi, dia menumpangkan lengannya pada tubuh istrinya itu dan bergeser merapat.
Oke, dia akan biarin Benya mendiamkannya lagi malam ini. Tapi biar sama-sama mati kutu dan frustasi, dia tidur sambil peluk istrinya itu semalaman.
Gira-Benya baikan dulu
Gira-Aulia nanti aja
![](https://img.wattpad.com/cover/252256357-288-k93781.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
N?
General FictionGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...