Tiga puluh enam dari n

1.1K 190 30
                                    

Sekedar mengingatkan,
Benya, suaminya. Gira, istrinya.

36/n

   Gerbang kos terbuka dari dalam, lalu dari celah gerbang muncul dua perempuan yang langsung menyambut Gira riang. Andin dan Elin namanya. 

   Sebelum tiba tadi Gira sudah memberitahu Benya makanya sekarang Benya bisa mengenali mereka. Andin, yang mukanya manis dan berhijab, adalah mahasiswi jurusan Hukum semester akhir. Satunya adalah Elin, yang berambut panjang dan berkacamata, mahasiswi jurusan Akuntansi yang juga sudah semester akhir.

   "Eh, sama Mbak Bebeb!" 

    Nggak disangka Benya keduanya juga memekik girang begitu melihatnya ada di belakang Gira. Senyum Benya lantas terkembang. Ini mungkin pertama kalinya dia begitu senang disapa orang.

   Kebanyakan anak-anak kos, hampir semua malah, selalu senang kedatangan Gira. Tapi selalu biasa saja saat kedatangan Benya. Bukan karena anak-anak ini nggak ramah pada Benya. Benya sendiri yang nggak bersikap luwes ke mereka sehingga mereka jadi segan padanya.

    Benya nggak murah senyum, nggak selalu menyapa setiap bertemu mata, kadang nggak bisa diajak bercerita, bahkan sering nggak muncul dan bersimpati saat ada dari mereka yang sedang kesulitan. Yah, Benya nggak seperti Gira. Beberapa kali dia berusaha menjadi seperti Gira, tapi dia gagal terus, dan akhirnya capek sendiri.

    Dengan kata lain, memang watak Benya lah penyebabnya. Buktinya, nggak cuma anak-anak kos yang bersikap begitu padanya, tetangga-tetangganya pun sama—akrab sekali dengan Gira, tapi segan dan menjaga jarak dari dirinya. Tentu sikap seperti itu nggak mereka perlihatkan  terus terang. Namun, Benya pun bisa merasakan dari balik senyum dan keramahan mereka yang kadang cuma sekedar tampilan.

   Seperti munafik. 

   Hal seperti itu terkadang dibutuhkan untuk meladeni orang-orang. Benya juga sering melakukannya. Manusiawi menurutnya, sepanjang niatnya bukan untuk kejahatan.

   "Hai!" balas Benya dengan sapaan kecil. Entah kenapa sekarang dia terdorong untuk meladeni mereka dengan riang pula. Dia akan mencoba lagi, mencoba jadi seperti Gira.

   "Udah lama nggak kesini, Mbak,” kata mereka dengan nada tanya yang nggak begitu ketara.

   "Iya, di Semarang terus akhir-akhir ini. Kalian gimana kuliahnya? Udah sampai mana skripsinya?"

   "Yah, Mbak, jangan bahas skripsi dulu lah! Baru dateng ini,” balas Andin cemberut.

   Benya lantas tertawa karena muka manyun perempuan muda yang sekarang menyilakannya masuk itu. Meskipun tertawa, dia sebenarnya kecewa dengan dirinya.

    Benya nggak tau basa-basi yang bagus. Akhirnya, dia iseng bertanya seperti itu karena tiba-tiba ingat kata Dahlia. Kata Dahlia, skripsi itu materi sensitif buat anak-anak jaman sekarang. Jadi, tambahnya, jangan sembarang nanyain soal skripsi ke anak-anak semester tua. Parah-parahnya, bisa jatuh mental mereka, lebih lebay lagi, bisa depresi. Benya kan jadi penasaran.

    Dulu jaman Benya skripsian juga mumet dan beban, tiap ditanya juga kesal, tapi jaman dulu dia belum terpapar istilah depresi. Skripsi memang tugas berat, wajar bikin mumet. Namun, mungkin karena sekarang permasalahan di dunia juga makin ruwet dan aneh-aneh, makanya topik skripsi juga makin berat, alhasil tekanannya pun beda.

   Benya pingin tau langsung tanggapan anak sekarang saat disinggung soal skripsi. Kalau dilihat tadi sih, reaksi Andin wajar-wajar saja. Cuma kan depresi itu penyakit nggak kelihatan—

   Benya langsung menghentikan ocehan di kepalanya. Dia nggak bermaksud mengoceh banyak, dia cuma kecewa karena disadarkan lagi bahwa dia nggak seahli Gira soal berinteraksi dengan orang lain. Nggak seperti suaminya, Benya harus cari-cari jalan agar bisa terlihat akrab. Itu pun dia tetap gagal karena jatuhnya dia malah bereksperimen rese dengan bertanya soal hal-hal sensitif seperti barusan.

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang