Lima dari n

2.4K 305 30
                                    

 (5/n)


   "Cari maksi sekarang yo!" usul Islan yang baru saja muncul dari pintu ruangan Gira. Habis solat anaknya. Rambut poninya masih basah. Masih pakai sarung dan wajahnya lebih cerah.

    "Mbak Aul aja. Ayo, Ra, sama aku aja!" Anthony menyahut semangat. Terlebih waktu nyebut nama Mbak Aul, perempuan yang punya warung makan dekat bengkel Gira, seberang jalan ke timur sedikit.

     Gira kenal cukup dekat dengan Mbak Aul. Wajar, hidup di daerah yang persaudaraan antar tetangga masih erat—meskipun di sini lebih banyak tempat penginapan dan tempat makan dari pada rumah warga—mau tak mau dekat sama semua tetangga. Pun mereka seumuran, dulu masuk kuliah di tahun yang sama. Gira di UGM, Mbak Aul di ISI Jogja.

    Nama lengkapnya Aulia Ayu Rahajeng. Gira memanggilnya Ayu, tapi di Prawirotaman ia dan warungnya lebih terkenal dengan Mbak Aul. Warungnya selalu ramai sama PNS dan bule, kadang juga anak-anak kuliahan. Masakannya memang cuma masakan rumahan, tapi rumahannya yang enak, bumbunya kerasa dan konsisten. Warungnya juga bersih dan ada tempat parkir agak luas di sebelah warung, mendukung. Makanya punya banyak pelanggan.

    Terlebih Mbak Aul tipikal perempuan yang selalu berpenampilan menarik. Walau bercelemek setiap saat di warung, tapi celemeknya selalu bersih dan cocok sama pakaiannya. Ketujuh pekerjanya juga diberi seragam. Walau cuma kaos beli di Sunmor, tapi tetap terlihat rapi-rapi.

    Mbak Aul murah senyum, baik hati sama orang-orang di sekitar. Sering bagi-bagi makanan gratis ke orang sekitar kalau hari Jumat. Katanya, hidup sama sesama orang kecil harus mau saling bantu dan berbagi. Amit-amit jangan sampai kejadian, tapi kalau warungku kenapa-kenapa, yang pertama bantu pasti ya orang-orang di sekitar sini, bukan Pak Bupati apalagi Mas Chanyeol. 

    Sudah ayu, menarik, orangnya baik, pantas banyak yang suka. Termasuk Anthony, laki itu sepertinya juga kesengsem sama si mbak, cuma mainnya cool. Sering tiba-tiba makan ke warung Mbak Aul, padahal sekarang rumahnya ada di Wates sana. Mbak Aul emang belum bersuami. Kalau ditanya kok belum menikah, dia jawab santai sambil guyon, nanti kalau punya suami, pelangganku yang cowok kabur separo. Belum siap, katanya, cicilan mobil masih dua tahun, belum utang di BPR. 

    Warung terlihat masih ramai meski jam maksi sudah mau habis. Gira dan Anthony melangkah santai di jalan Prawirotaman yang senggang. Keduanya menggunakan masker, meski PPKM sudah dihentikan tapi sudah jadi kebiasaan pakai masker kalau keluar rumah. Walaupun Anthony memakainya toh di dagu, seperti cuma buat formalitas. 

    Sampai di warung, mereka langsung disapa Bu Rahayu—salah satu pegawai warung. Walaupun mulutnya tertutup masker, tapi jelas dari kedua mata Bu Rahayu yang sampai mengerut ujung-ujungnya beliau tersenyum lebar.

    "Makin rame, Buk," sapa Gira sambil melihat ke etalase besar di mana panci-panci lauk dan sayur disusun rapi di raknya. Beberapa panci sudah kosong dan yang lain masih separo. 

   "Alhamdulilah, Mas, udah nggak PPKM to, udah balik normal," jawab Bu Rahayu dengan muka sumringah dan bertepuk tangan sekali. Gira dan Anthony ikut tersenyum sumringah.

   "Syukur, ya, Bu," timpal Anthony setelah menoleh ke sana-sini. Berlagak melihat-lihat warung, padahal sebenarnya mencari Mbak Aul. 

   Kemudian Mbak Aul muncul dari dalam dapur yang ada di sebelah utara warung, tanpa masker, wajah dan rambut depannya bekas terkena air, lengan kaosnya digulung sampai siku, dan lengannya juga bekas basah. Anthony tersenyum kecil. Kali ini maskernya sudah pada tempat yang benar, bukan dagunya, jadi senyum iritnya itu tidak terlihat. "Eh, Ra, Mas Tony. Kebetulan loh. Eh, monggo, duduk dulu. Mau makan sini atau bungkus?"

  "Bungkus aja, Yu. Sebelas, ya. Nasi ayam bacem lengkap sama sayur mi, sembilan. Yang dua aku sama Carta biasa."

    Anthony menatap Gira dengan muka protes. Kebiasaan. Anak-anak pesannya apa, dipesankan apa. Nggak mau repot amat jadi orang. Namun Anthony juga tidak mengoreksi pesanannya, dia juga nggak mau repot.

   Mbak Aul mengecek lauk-lauknya di dalam etalase. "Wah, sambal petai-nya abis, Ra." Sambal petai itu kesukaan Carta. Mbak Aul emang sudah hafal pesanan Gira dan Carta, wong hampir setiap hari mereka pesan makanan di sini.

   "Yang ada aja, Yu."

   "Petainya abis diborong bule rambut ungu tadi, Mas. Sambal teri aja yo," timpal Bu Rahayu yang baru saja menyendok sayur gudeg ke dua mangkok untuk dua ibu-ibu pegawai puskesmas yang datang sebelum Gira dan Anthony.

    "Ya, ya, apa aja sambelnya, nggak pa-pa." Gira mengangguk-angguk, kemudian ia bertanya pada Mbak Aul, "kebetulan apa tadi mbak?" Tadi saat Mbak Aul baru keluar dari dapur, dia menyapa Gira dan Tony, lalu bilang kebetulan dan belum sempat menjelaskan kebetulan apa.

    "Itu lho, Ra, motornya Via tadi pagi mogok, nggak mau nyala mesinnya. Kenapa, ya?" Via adalah adik Mbak Aul yang bekerja di kantor periklanan, usianya terpaut lima tahun dari Mbak Aul. Orangnya agak judes, tapi kalau sama orang yang udah dekat nggak kalah ramah dari kakaknya.

    "Lama nggak dipakai?" Gira memastikan.

    "Tiap hari dipakai, tadi itu tiba-tiba nggak mau nyala." 

    Setau Gira Motor Via itu matic. Mesin nggak nyala kemungkinan akinya bermasalah atau kalau diengkol juga nggak mau nyala, kemungkinan kehabisan oli. "Udah nyoba diengkol, Yu?"

    "Udah, nggak bisa."

    "Olinya mungkin habis," timpal Anthony sepemikiran dengan Gira. 

    "Ganti oli terakhir kapan?" tanya Gira menambahi. Biasanya perempuan kalau ditanya seperti ini jawabannya cuma dua, aduh nggak tau kalau enggak malah balik nanya memang harus ganti oli? Padahal ganti oli itu penting sekali dan harus dilakukan rutin agar mesin motor awet. 

   "Aduh, nggak tau aku, Ra." Gira dan Anthony sama-sama menahan tawa. Mereka berpikir yang sama sebelumnya. "Via juga pakai tinggal pakai aja, biasanya yang ngurusi bapak," jelas Mbak Aul malu dan dengan senyum sedih yang samar. Bapaknya meninggal enam bulan lalu, bukan karena covid, melainkan sakit jantung. 

    "Ya, nanti tak lihat dulu, Yu," balas Gira.

   "Kalau kamu longgar aja, Ra. Makasih, ya." 

    Gira mengangguk-angguk. "Santai."

    "Tadi mau sholat, mbak?" Anthony tiba-tiba bertanya begitu saat Mbak Aul mulai menyiapkan kardus makan. Gira berdeham halus yang hanya didengar Anthony. Agak geli dia melihat Anthony tiba-tiba ngomong sopan dan lembut begitu.

    "Iya, Mas," jawab Mbak Aul dengan senyum dan menoleh sebentar ke arah Anthony. 

    "Sholat aja dulu, Mbak, nggak buru-buru kok."

    Mbak Aul tertawa kecil, sungkan dan malu-malu. "Waduh, nggak pa-pa, nih?"

    "Nggak pa pa, sholat aja dulu," dukung Gira. Anthony melirik Gira dengan lirikan kesal yang tidak disadari orang lain selain Gira. Kedengarannya saja itu mendukung, aslinya mengolok. 

    "Ya udah, aku tak sholat dulu, ya. Sepuluh menit aja kok. Duduk dulu kalau gitu, Mas, biar dibikinin es teh Mbak Rahayu." Setelah itu Mbak Aul kembali masuk lewat pintu yang mengarahkannya ke dapur. 

    Gira terkekeh melihat Anthony masih memperhatikan punggung Mbak Aul. Lalu ia ajak Anthony duduk di salah satu bangku yang kosong. Ketika akhirnya mereka saling menatap mata, Gira mengingatkan, "Forbidden, Ton, almarhum bapaknya ustad, ibunya kepala pesantren."

   "Asyuuuuuuu," siut Anthony mengundang tawa kencang Gira.  

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang