Tujuh belas dari n

1.3K 228 18
                                    

(17/n)

    Setelah sarapan bersama Benya dengan menu nasi, sayur asem, dan lauk ayam goreng bikin Benya, Gira membawa Livina-nya ke bengkel mobil di daerah Gondomanan. Bengkel mobil yang dia tuju baru saja buka, jadi belum ada orang lain sehingga ia tidak perlu mengantre.  Setelah memberitahukan kepada montir kalau AC mobilnya mati dan konsultasi, akhirnya mobilnya ditangani dan dia disuruh menunggu.

   Belum begitu lama menunggu, beberapa pelanggan lain datang. Lalu ada lagi yang datang dan menarik perhatian Gira. Gira menyempitkan pandangannya untuk memastikan kalau lelaki yang keluar dari mobil yang baru saja berhenti di depan bengkel mobil itu memang Ade. Pasalnya, mobil yang pria itu kendarai bukan Fortuner, tapi itu memang Ade, kelihatan dari pawakannya.

    Sebelum Gira memanggil, pria itu sudah menoleh duluan ke arahnya—mungkin karena merasa diperhatikan, dan langsung tergelak. "Ra. Ngapain?"

   Suara Ade yang besar terdengar dari ujung sampai ujung bengkel. Ya, kadang begitu lah cowok saat nggak sengaja ketemu rekan satu tongkrongan di tempat umum. Nggak ada itu kesabaran buat nyamperin, dekat dulu baru nanya atau nyapa. Ya buat apa, tinggal teriak, anggap orang lain nggak ada.

   "Ngepel." Gira yang duduk anteng di kursi tunggu membalas sarkas. Ada empat orang lain yang ada di kursi tunggu dan langsung tertarik dengan mereka, ada yang tertawa bahkan.

   Ade tertawa dan mendekatinya setelah memberikan kunci mobil kepada salah satu pegawai bengkel.

   "Ngapain?" Kini Gira yang bertanya. "WFH to?"

   "Iye. Itu ganti oli mobil istri." Tanpa disuruh, Ade ikut duduk di kursi di sebelah Gira.

   "Jauh amat sampai sini." Rumah Ade ada di Bantul. Di Bantul itu ada banyak bengkel mobil. Masa Ade ganti oli saja sampai Gondomanan?

   "Sekalian nganter istri ke rumah temennya situ. Mobil lo kenapa?"

   "AC-nya modar. Benya kan pulang nggak bawa mobil, takutnya dia mau ke mana-mana pakai ini."

  "Sedap, suami siaga. Dia anti motoran sih, ya?"

  Gira mengiyakan singkat. "Dari pada merengut."

  "Tinggal disosor. Ya, mbak?" sahut Ade sambil meminta suara mbak-mbak yang juga menunggu mobilnya sambil asyik menonton tik tok di sebelah mereka.

   Benya merengut kok disosor, yang ada digilas bibir Gira kayak pakaian kotor. "Abis ini ke mana?" tanya Gira.

   "Bengkel lah paling. Bangunin bocah-bocah. Pasti belum lo bangunin kan?" Bocah-bocah yang dimaksud Ade adalah Islan dan Anthony.

   Boro-boro sih. Gira saja belum ke bengkel lagi sejak semalam. Tapi mungkin sudah dibangunkan Carta. Semalam Gira tidur di rumah Malioboro setelah satu jam-an membujuk Benya keluar dari ruang kerja di bengkelnya dan membawa istrinya itu ke mobil.

  Dia nggak sempat memikirkan Islan, Anthony, atau Boing yang masih tinggal di bengkel setelah dia pergi. Memikirkan mereka mendengar pertengkarannya dengan Benya atau enggak saja tidak. Memikirkan apa mereka menyebarkan ke yang lain atau belum pun juga tidak. Gira juga nggak ingin tau, nanti juga terungkap sendiri kalau memang di belakangnya mereka tukar-tukar cerita tentang Gira dan Benya. Seperti selama ini.

   "Desain kaos udah dijadiin Islan. Belom lihat kan lo?"

   Karena disinggung Ade, Gira jadi penasaran dengan desainnya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana kolornya. Baru sadar ternyata dia juga belum sempat membuka WA group geng nya sejak semalam.

   Beberapa foto desain kaos dikirim oleh Islan di WAG mereka. Mayan lah.

   Di bawahnya komentar-komentar yang lain. Lalu di bawahnya lagi Islan bilang dia tidur di bengkel. Anthony juga, dia tambahkan. Direspon Ade, menanyakan Gira dan Benya tidur di rumah mana. Dijawab Boing, Neng garasi karo aku.

    Membaca pesan Boing, Gira jadi ingat kejadian semalam dan ulah mulut lelaki itu yang sudah kategori melecehkan Benya. Pokoknya, Boing yang bakal dia tegur pertama kali.

   "Tira juga WFO hari ini." Ade kembali bersuara.

   Sebelum mengutarakan pikirannya, Gira sudah ketawa duluan. "Kemaren udah setengah hari ngelayap, nggak mungkin lah hari ini dibolehin keluar rumah."

   "Nggak pinter sih Tira itu. Tinggal drop istrinya di salon apa spa. Dia cabut alasan bawa anak jalan, terus anak drop di rumah orang tua, kan beres."

   Ya, gitu lah dunia pernikahan.

***

   Gira dan Ade mengendarai mobil masing-masing dari Gondomanan ke arah Malioboro. Livina mau dia tinggal di Malioboro siapa tau Benya mau keluar, terus dia ke Prawirotaman dengan Ade.

  Sampai di rumah Malioboro, Benya yang sedang di depan merawat beberapa tanaman gantung membukakan gerbang. Gira menurunkan kaca mobilnya, dari jalan dia bertanya, "Mau keluar nggak?"

   Benya berpikir sejenak. Dia juga memperhatikan mobil di belakang mobil Gira. Pengemudinya baru saja menurunkan kaca dan ia sempat nggak menyangka kalau itu Ade, salah satu teman Gira, lagi. "Enggak sih. Kenapa?"

   "Ini kalau mau keluar pakai ini aja. AC nya udah bener."

   "Ya, nanti deh. Masukin dulu aja."

   Benya mendorong gerbang lebih lebar, lalu kembali ke teras rumah sementara Gira memasukkan mobil.

  "Kamu mau ke mana?" tanya Benya begitu Gira turun dari mobil.

   "Bengkel." Sebenarnya, ada banyak hal yang pengen Gira omongkan dengan Benya. Soal sama siapa Benya ke Jogja, soal teman-temannya, soal rumah tinggal mereka yang sekarang semakin banyak, dan soal Ayu mungkin juga perlu dibereskan agar benar-benar tuntas, agar nggak terjadi lagi kesalahpahaman di masa depan. Tapi dia rasa sekarang belum waktunya. Agak nanti saja toh tadi Benya bilang mau di Jogja agak lama.

  Gira senang dengan kabar itu, tentu saja. Siapa sih yang nggak senang dekat sama istri? Kalau boleh malah Gira minta agar setiap hari dia dan Benya dekat. Biar nggak ada canggung-canggung lagi, kagok, blank, bingung mau ngobrolin apa, salah paham, curiga, kebohong, pokoknya hal-hal nggak pantas buat pasangan suami-istri semacam itu lah.

    Benya meng-oh. "Aku paling nanti lihat-lihat kain."

    Gira manggut-manggut saja.

   Benya mendesah dalam hati. "Kamu ada kerjaan di bengkel?" tanyanya sekali lagi, lebih menjurus.

   "Enggak ada janji sih." Gira bingung kenapa Benya menahan-nahan dirinya.

   "Siang, sore?"

   "Enggak, Ben."

   Benya menyebut nama Tuhan. Harus pakai kode apa sih ngobrol sama Gira ini? "Mau nganterin nggak?"

   "Boleh. WA nanti kalau udah siap."

   Ternyata nggak perlu pakai kode, alias, Maumu apa ya omongin aja, Benya!

   "Sekitar jam dua-an, ya."

   Gira mengangguk dan menyuruh kepalanya berhenti bersorak. Cium mulu yang ada di pikirannya sekarang. Upgrade level, kek!

   Gira keluar gerbang lalu masuk ke dalam mobil Ade. Si empunya yang tadi memperhatikan interaksi Gira dengan Benya terbahak waktu Gira sudah duduk dan menoleh ke arahnya dengan muka bertanya.

   "Kaku banget lo sama istri. Parah, Ra!"

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang