Tiga puluh tujuh dari n

1.4K 212 26
                                    

37/n

  "Mana Andin sama Elin?" tanya Benya ketika mendapati Gira turun tangga sendirian.

   Gira yang sepertinya tadi nggak menyadari Benya sedang berjongkok di depan kulkas—di belakang kursi makan—sekarang memperhatikan istrinya itu setelah sempat mencari di mana keberadaannya. "Kamu ngapain di situ?" tanyanya dengan kekeh samar. "Andin sama Elin ngeberesin kamar. Aku mau nyicil nge-cat kamar mereka, tapi ini mau ke tempat Pak Marjono dulu. Mau minta dibantuin, sama sekalian minta biar besok Minggu ngebenerin plafonnya."

   Benya manggut-manggut.

   "Kamu lagi ngapain, sih?" Gira mengulang pertanyaannya penasaran.

   "Ini, nih. Sayur-sayur kering udah nggak bisa dimakan, belum pada dibuang." Benya menunjukkan pekerjaannya ketika Gira mendekat. Di sebelahnya ada kantong kresek tempat sayur-sayur kering yang mau dibuang, sedang dia mengelap bagian dalam kulkas dengan lap basah.

   Seperti biasa jika ikut Gira menengok kos-kosan, Benya selalu menyempatkan diri buat mengecek dapur kos. Sudah jadi kebisaannya. Seperti itu juga kalau dia pulang ke Jogja, tujuan utamanya begitu tiba di rumah pasti dapur. Bukan apa-apa, tapi dari dulu dia memang peduli dengan perut suaminya.

   Benya pernah mendengar dari salah satu teman ibunya kalau perut itu salah satu penggerak utama para lelaki. Wanita yang menguasai perut lelaki itu wanita yang bisa mengendalikannya. Jadi buat yang sudah menikah, jangan sampai perut suami itu terlantar, apalagi sampai ada wanita lain yang mengisinya. Itu kabar buruk buat pernikahan.

   Meski pernikahannya dengan Gira nggak dimulai selayaknya pernikahan pada umumnya, bahkan setelah ketegangan di dalam pernikahan mereka meledak dan mendesak pernikahan mereka hingga ke ujung jurang, Benya tetap menanamkan wejangan itu di dalam dirinya dan mengaktualkannya di dalam pernikahan mereka. Itulah mengapa Benya nggak pernah suka Gira makan di tempat Ayu.

   Awal-awal kepindahannya ke Semarang, Benya mempekerjakan seorang ART di rumah Malioboro untuk menggantikannya. Alasan utamanya tentu dia ingin rumahnya tetap terawat dan juga tetap ada yang memperhatikan Gira meski dia nggak lagi di rumah. Namun, belum ada sebulan ART-nya bekerja di rumah, Gira sudah mengeluh nggak nyaman karena tinggal cuma berdua dengan wanita lain di rumah mereka.

   Menyikapi itu, Benya meminta supaya ART-nya cuma datang saat pagi dan sore hari saja. Tugasnya, asal rumah bersih, pakaian rapi, dan yang paling penting makanan untuk Gira jangan sampai telat. Seenggaknya, dengan begitu perut Gira masih dalam pantauan Benya. Namun, jalan dua bulan kemudian, Gira malah bilang langsung kepada ART di rumah mereka agar hanya datang seminggu dua kali dengan alasan sekarang dia lebih sering di bengkel dan rumah Prawirotaman.

   Saat diberitahu oleh ART-nya, Benya ingat dia merasa seperti disingkirkan. Seolah-olah Gira ingin lepas darinya dan menggunakan keputusan Benya untuk tinggal di Semarang sebagai kesempatan. Resikonya.

   Meski sebenarnya sangat keberatan, Benya nggak melakukan apapun saat itu. Benya memang nggak ingin melepas kendalinya dari perut sang suami, tetapi di lain sisi dia juga was-was kalau Gira sampai menyuruhnya meninggalkan Semarang dan kembali ke Malioboro jika memang ingin ada yang tetap memperhatikan rumah dan Gira.

  Sebab saat itu Benya sudah menemukan kalau hatinya merasa lebih ringan setelah tinggal di Semarang, karena nggak harus setiap hari dia menghadapi Gira. Dia takut kalau dia bersikeras dengan keinginannya supaya ART setiap hari ke rumah—dengan alasan agar ada yang memperhatikan Gira dan merawat rumah, Gira malah menyuruhnya tinggal di Jogja sehingga mereka harus kembali berpura-pura nggak tersiksa tinggal berdua dan melakukan semua hal di bawah atap yang sama meski sama-sama terluka.

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang