Tiga puluh empat dari n

1.1K 235 76
                                    

34/n

   Gira sampai di rumah Malioboro saat jarum jam hampir menunjuk angka sembilan. Dia tadi mampir ke bengkel setelah mengembalikan elf ke garasi. Ada Boing di bengkel, jadi Gira ketahan sebentar di sana. Bicara soal Boing, Gira jadi ingat saat si rebel itu tadi menyambutnya dengan ejekan seperti ini di bengkel, "Bagus, udah mulai nakal. Milih nganterin Ayu dari pada meriksain istri, baguuus," ejekan itu bikin Gira makin tertohok dan menyesal karena sikap nggak bertanggung-jawabnya.

  Semua lampu masih nyala saat Gira tiba di rumah, pertanda Benya belum tidur. Istrinya itu memang betah melek malam, apalagi setelah memiliki bisnis, lagi sakit pun tetap nggak bisa tidur sore.

   Memasuki ruang tamu, Gira melihat Benya ada di ruang keluarga, berbaring di sofa tidur sambil menonton televisi. Dia hampiri istrinya itu dan sebagai sambutan dia cuma dapat tatapan pelit.

   "Udah jadi periksa?" Gira bertanya.

   "Udah," balas Benya biasa, Gira pun mengangguk.

    Sebenarnya, Gira sudah tau dari Carta. Tujuannya bertanya ini cuma mau memastikan situasi perasaan Benya sekarang; Kesal nggak istrinya itu karena Gira malah menyuruh Carta mengantarnya ke dokter? Kalau ditilik dari jawaban dan ekspresinya sekarang, sepertinya Benya nggak kesal padanya. Bukan melegakan, itu malah mengherankan dan mengundang was-wasnya. Takutnya, sebenarnya Benya kesal, cuma memilih abai—seperti dulu-dulu. Kalau itu terjadi, sama saja Gira sudah merusak sendiri usahanya untuk memperbaiki pernikahan.

   Gira pun ikut duduk di sofa tidur. Pandangan Benya pada televisi langsung beralih menyorotnya begitu Gira duduk, menyuruhnya menjauh dengan alis menyatu. Gira tau arti tatapan itu, dengan santai dia langsung mengklarifikasi, "Aku udah mandi kali, Ben. Kalau nggak percaya, nih, rambutku masih basah. Tadi sampai bengkel langsung mandi kok." Dia juga menyurukkan kepalanya ke perut istrinya yang langsung ditepis pelan dengan iringan tawa.

   Mendengar tawa Benya yang renyah, Gira menahan tubuhnya dan mempertahankan posisi saat ini, duduk condong ke belakang dengan satu tangan menyangga tubuhnya dan menghadapkan tubuhnya miring ke arah di mana Benya berbaring.

   "Sop-nya mana?" tanya Gira iseng.

   "Aku buang," jawab Benya enteng. "Kamu yang nyuruh, ya, jangan salahin aku lagi!"

   Nggak sama sekali. Gira mau jengkel pun sudah kehabisan stok, yang ada, benaknya sekarang didominasi rasa bersalah. "Rantangnya enggak kan? Bukan punya kita loh." 

   Benya mendecak, "Tuh, di dapur." 

   Gira memainkan kancing babydoll Benya dengan tangannya yang bebas, sedang di mulutnya dia lagi menjejer permintaan maaf. Cukup lama sampai Benya yang diperhatikannya—sementara wanita itu sudah kembali memperhatikan layar televisi—mendecak lagi, "Jangan liatin aku kayak gitu!" 

    Senyum tertahan di bibir Gira.  "Maaf tadi nggak ngaterin ke dokter," ungkapnya pelan kemudian, terdengar dari dalam hati dan dibarengi penyesalan yang tulus.

   Benya di posisinya nggak langsung menjawab. Wanita yang lebih tua satu tahun dari Gira itu beralih menatap Gira dalam, begitu selama selama beberapa detik, sebelum akhirnya membalas pendek, "Kesel ya kamu?"

   Ditanya begitu, Gira pun berkata jujur, "Tadi siang pas bawa sop, di jalan tuh kakiku ketumpahan kuahnya, Ben, mana panas banget, malah sampai rumah kamu nggak mau makan."

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang