Udah berapa tahun nih nggak ketemu Gira? Udah kangen apa udah lupa? *Keplak pala (atas) Gira*
Siapin hati dulu, bab ini agak sedih
Apa yang terjadi malam itu benar-benar membuat Benya tidak punya rasa percaya diri untuk memiliki buah hati.
Malam itu adalah malam yang dibilang Gira masih mereka hindari sampai saat ini. Malam di mana mereka saling menyakiti dan malam yang akhirnya mendorong mereka mencipta gelembung masing-masing untuk berlindung dari yang lain.
Meski sudah delapan tahun berlalu, meski mereka bisa bertahan di pernikahan ini, menjalin hubungan baik, tidak tampak membenci, dan seolah melupakan jika malam itu pernah terjadi, nyatanya luka malam itu masih mereka simpan hingga saat ini.
Pukul delapan lewat sepuluh malam itu, Benya tiba di rumah Malioboro. Dengan berat ia melangkahkan kaki di rumahnya lagi setelah empat hari dirawat di Karyadi pasca keguguran. Badannya masih lemah, perutnya terkadang nyeri, tapi nggak ada yang lebih terasa sakit dari pada benda lembut yang kini berdetak kurang layak di balik dadanya.
Empat bulan dia merasakan keberadaan makhluk itu di dalam badannya, sekarang sudah tak ada. Hampa kalau harus menggambarkan perasaannya. Hampa dan sendiri.
Dari Karyadi ke Jogja ia diantar Pras dan Wening, iparnya yang baik hati. Tadinya Pras mau membiarkan Benya menyetir sendiri, tapi mendengar ide itu Wening langsung mengomeli suaminya dan juga Benya. Wanita yang sudah pernah melahirkan seorang putri itu mempertanyakan kewarasannya. Meski Benya sungguh nggak keberatan untuk menyetir sendiri, Wening mengatakan semua hal yang benar, tubuhnya masih belum sanggup untuk melakukan itu, terlebih emosinya. Nggak ada yang waras di antara dirinya dan Pras jika memang dia kembali ke Jogja menyetir sendiri dan Pras sebagai kakaknya membiarkan.
Melihat Wening nggak main-main dengan ucapannya, Pras pun terpaksa menurut. Bukan karena simpatik kepada Benya, tapi karena istrinya sudah menitah. Pras berkali-kali menatap Benya seolah sangat direpotkan. Benya nggak membalas apapun. Itu memang watak Pras makanya sejak awal pun Benya sudah menyiapkan dirinya dan nggak keberatan kalau memang harus menyetir sendiri. Dia memang harus membiasakan diri untuk sendiri.
Memangnya ke mana suaminya? Entah, Benya juga nggak tau. Gira nggak bisa dihubungi. Pras mengirim pesan dan menelepon sejak siang hari, tapi sudah menunggu setengah hari pun pria itu tetap nggak balas mengabari. Berkali-kali Benya ditanya ayahnya, "Sebenarnya, ke mana to suamimu ini?" Benya ingin rasanya tertawa. Dia nggak tau. Dia sudah nggak ingin peduli.
Tiba di Malioboro, dia tidak juga menemukan pria itu di rumah. Rumah masih gelap gulita, gerbang dan pintu depan terkunci. Mungkin Gira di Prawirotaman. Terserah, pikir Benya. Benya nggak akan berusaha menghubungi. Terlanjur besar rasa sakit di hatinya karena ketidakmunculan pria itu selama dia dirawat. Sepatah pesan pun nggak sampai di tangannya padahal Benya sangat mengharapkannya setelah kehilangan itu menghabisi seluruh energi dan emosinya. Se-tidak peduli itu kah bahkan ketika Benya sedang begitu terpuruk?
Benya meringis. Rasa nyeri mencengkram perutnya karena ia kembali mengingat kejadian empat hari yang lalu, yang mengakibatkan bayinya tak terselamatkan. Itu salahnya, itu mengapa rasanya jadi begitu pahit dan menghimpit. Jika dia nggak ceroboh dan keras kepala, jika dia tau kondisinya dan nggak abai pada fakta dia sedang hamil, bayinya pasti masih ada.
Air mata kembali meluncur dari kedua manik mata Benya. Meski gelap, Wening yang menuntun di sebelahnya tetap menyadari dan kemudian memanggilnya dengan lembut, "Ben, berusaha ikhlas, ya."
![](https://img.wattpad.com/cover/252256357-288-k93781.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
N?
General FictionGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...