Empat puluh tiga dari n

1.7K 192 46
                                        

   Gira agak cemberut sejak siang. Alasannya gara-gara Benya berkata mau kembali ke Semarang sore ini juga. Pria itu mengira jangan-jangan Benya ingin menghindarinya setelah pengakuan kedekatannya dengan Raka pagi tadi. Ia berusaha bertanya kepada istrinya. Tapi Benya terus menyingkir setiap kali Gira muncul di hadapannya.

   Prasangka Gira itu sebenarnya cukup tepat. Setelah tanpa pikir panjang mengakui perselingkuhannya dengan Raka pagi tadi, yang ditanggapi Gira dengan begitu legowo, Benya memang berharap untuk tidak melihat wajah Gira untuk beberapa saat. Itu kenapa ia memilih berangkat ke Semarang sore ini dan sejak tadi siang bermain kucing dan tikus dengan Gira.

  Benya butuh waktu untuk meluruskan pikirannya. Di rumah ini ia terlalu sulit untuk langsung mempercayai sikap lapang dada Gira. Pikiran curiganya menyusun berbagai argumen yang mengharuskan Gira bersikap tidak se-sabar itu setelah mendengar pengakuannya. Alhasil, ia merasa tidak nyaman.

  Benya juga butuh istirahat. Rasanya melelahkan karena apa saja obrolan di antara mereka dapat berubah menjadi perdebatan hanya gara-gara satu kalimat yang menyinggung perasaan. Perdebatan itu memang demi membaiknya pernikahan mereka, Benya tau. Tapi boleh juga kan ia mengambil jarak untuk istirahat sebentar?

  Benya juga ingin menyelesaikan dulu perkara uang tiga puluh lima juta yang diminta kakaknya. Kalau dia nggak cepat memberikan tiga puluh lima juta kepada Pras, Gira akan terseret-seret lagi dalam urusan yang bukan tanggung jawabnya sama sekali. Benya nggak ingin itu terjadi lagi. Sudah cukup keluarganya selama ini memeras Gira.

   Sudah pukul tiga lewat lima belas saat ini. Benya memilih berangkat sekarang sebelum hari terlalu sore.

  Turun ke lantai satu membawa tas ketiaknya, Benya menemukan suaminya yang dari tadi ia cari. Pria itu seperti baru saja selesai menelepon di tengah ruang keluarga. Pandangan mereka bertemu ketika lelaki penyabar itu menoleh ke tangga.

  "Mau berangkat sekarang?"

  "Kain udah kamu angkatin, Ra?" tanya mereka bersamaan.

  Gira menjawab duluan. "Udah, di bagasi."

  Benya mengangguk setelah tersenyum singkat. "Makasih. Aku berangkat dulu, ya."

  Benya mendekat untuk memberi suaminya ciuman. Dia sampai lupa kapan terakhir kali memberi pipi itu ciuman. Padahal dia selalu memikirkan adegan seperti itu di saat ia melamun.

  "Ben," desah Gira. "Kamu nggak lagi ngehindarin aku, kan?" Pertanyaan mencurigai itu seketika menghentikan niat Benya.

  Sekarang mereka berdiri berhadapan. Jarak di antara mereka hanya satu langkah. Keinginan Benya menciumnya langsung melayang diganti perasaan sedikit berang. 

  Gira benar-benar berusaha berubah dan berani mempertanyakan hal seperti itu di saat situasi mereka sedang begini rentan. Itu malah membuat Benya makin bingung memilih sikap.

   Benya menggeleng.

  Gira tampak tak percaya. Mereka saling tatap cukup lama, saling nggak ingin menyerah dengan pertanyaan dan kelitan masing-masing. Dua orang yang sudah mengenal lama itu sedang berusaha mengalahkan keras kepalanya pasangan mereka dengan mencoba mengeraskan kepala sendiri. Konyol.

  Adu diam itu berakhir karena Gira kembali bersuara. Lelaki itu mendapat ilham bahwa istrinya nggak akan mengoreksi jawabannya. Itu lah Benya. "Aku nggak percaya," ungkapnya.

 Dan ungkapan itu sukses mendorong Benya mengungkapkan pikirannya. "Kayak aku nggak bisa percaya kamu bersikap segini baiknya walaupun aku udah ngakuin hubunganku sama orang lain."

  "Loh. Aku emang nggak mau mempermasalahkan masa lalu," timpal Gira cepat.

  "Tapi masalahnya itu bukan masa laluku yang bisa kamu lewatin gitu aja disaat kamu udah tahu, Ra," tukas Benya tak kalah cepat.

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang