(16/n)
Benya tak tau sampai kapan dia akan bertahan nggak menangis sementara Gira berbaring di balik tubuhnya, tak melepaskan pelukannya sejak sejam yang lalu, dan tak berhenti menciumi rambut kepalanya. Dia tidak berani menatap mata suaminya sejak kata-kata yang selama ini berjubal di benaknya keluar dengan emosi yang nggak bisa dia kontrol. Sebab Benya nggak cuma marah, tapi juga sedih.
Benya ditampar ingatannya begitu berhasil menyudutkan Gira beberapa jam lalu. Membuatnya tak lagi mengharapkan mulutnya bisa bicara. Semua yang dia ucapkan sendiri benar, tapi seharusnya dia tidak berharap Gira bertanggung jawab dengan semua yang dia rasakan, tersinggung, malu, kecewa, marah, karena pada kenyataannya bukan Gira penyebab semua itu tapi orang-orang lain. Orang lain yang ada di sekitar mereka dan selama ini sudah menilai pernikahan mereka luar dan dalam.
Mereka yang suka mencetus hal tak senonoh tentangnya itu yang tau dia hamil dengan pacarnya yang tidak direstui orang tuanya. Mereka yang meremehkannya dan tidak menyukainya itu yang tau Gira mau menikahinya hanya karena balas budi kepada orang tua Benya yang sudah lama mengurus Gira sejak kematian orang tua pria itu. Lalu yang lebih tak pantas, soal kecurigaannya pada Ayu itu karena pada dasarnya dia menyadari masa lalunya sangat buruk, pribadinya tak secantik pribadi Ayu, dan melihat kalau memang Ayu sangat lebih pantas untuk Gira dari pada dirinya dilihat dari segi mana pun.
Ayu bahkan tau makanan kesukaan Gira saat Benya sendiri tidak tau. Benya pikir gudeg, atau sop ayam, atau soto, atau bubur ayam, ternyata kare. Nggak pernah terpikirkan di kepalanya Gira doyan kare. Seburuk itu dirinya sebagai istri selama ini.
Sementara Benya tak berhenti merendahkan dirinya, di sisi lain Gira berjibaku dengan pikirannya yang sedang mereka-reka cara yang tepat buat memberitahu teman-temannya agar berhenti membicarakan Benya dengan buruk, termasuk menyinggung Benya dengan kata-kata nggak senonoh.
Begitu tadi Benya mengungkapkan perasaannya, Gira ditinggalkan semua kata-kata yang ingin dia ucapkan. Dia lupa kalau dirinya sedang tersinggung, dia lupa kalau dia juga sedang marah dan kecewa. Cuma satu hal yang jelas dia rasakan, seperti dibangunkan dari tidur setengah sadar.
Selama ini dia mengira Benya sudah kebal dan di tahap nggak peduli lagi dengan ucapan teman-temannya. Omelan dan kekesalan Benya selama ini malah dia anggap wajar dan dia pikir biasa, nanti juga lupa, nanti juga berhenti manyun. Ternyata semua itu mengendap di hati Benya dan selama ini istrinya itu menahannya.
Nggak cuma itu. Sebenarnya, Gira juga selalu terusik ucapan-ucapan buruk tersebut. Sebenarnya, hati kecilnya juga selalu khawatir jika sampai perasaan Benya tersakiti, tapi selalu dia biarkan saja rasa-rasa mengganggu itu, dia bebaskan orang-orang mengolok dirinya, Benya, dan pernikahannya. Dia menyadari itu, tapi dia abaikan dengan alasan yang nggak bertanggung jawab sama sekali. Menumpukan beban pada Benya dengan menganggap Benya bisa mengatasi itu.
Bodoh kamu, Ra.
Hingga esoknya, Benya dan Gira tak cukup tidur sebab sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Pukul lima, Gira beranjak duluan dari ranjang tidur. Selanjutnya, dia memutar ke hadapan Benya.
Benya tetap memejamkan mata karena nggak mampu menatap wajah Gira sama sekali. Apalagi ketika merasakan tatapan pria itu sungguh-sungguh mengamati wajahnya.
"Subuh, Ben."
Apalagi suara pelan pria itu yang seolah tak mau menyakiti Benya seujung jarum pun, lalu usapan sabarnya, dan hela napasnya yang menunjukkan penyesalan.
Benya harusnya tidak menerima semua itu.
"Ben."
Satu napas berat Benya tak sengaja lolos. Seketika dia menyesali itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
N?
Fiction généraleGIRA-BENYA [ON GOING] Kalau cuma untuk menikah, itu gampang. Menjalani pernikahan itu yang sulit, apalagi kalau kita cuma menggampangkan. Peringatan : 1. Banyak kata-kata kasar 2. Kata-kata vulgar 3. Perselingkuhan 4. Banyak bahasa Jawa tanpa terj...