I
Dari tempat matahari merekah ada Frans jajakan pinang dan buah merah. Bantu kepulkan dapur honai, jemput kenyang untuk keluarga sebelum hari dimulai. Aku dan Frans makan sepiring habiskan papeda, seteguk bilas kerongkongan dengan es matoa.
Frans dan aku diperanakkan dari satu rahim. Darahnya berbagi merah serupa yang dipompa oleh jantungku. Tulangnya berbagi putih persis seperti yang dipersambungkan oleh sendi-sendiku.
II
Dari berombak pesisir Losari ada Andi membelah laut nahkodai Pinisi. Tangannya adalah muara jabat dengan bibir tulus lempar senyum hangat. Kami sebantal dalam tidur selepas khusyuk kembarai ombak, panen pusaka bahari yang banyak.
Aku dan Andi adalah anak kandung tanah air. Dalam karib lanjutkan jalesveva jayamahe, rawat-rawat bahari serupa Gowa-Tallo dulu berdiri.
III
Dari teduh Barito yang menghilir ada Antasari jual hasil bumi dengan jukung terparkir. Tiap papas kami bepanduk, ia serahkan beberapa potong bingka, aku haturkan nasi untuk makan pagi.
Kami berbagi pita suara. Walau lantang jajakan hasil bumi namun khataman Pancasila menghuni lidah begitu lestari.
IV
Bagaimana bisa aku dan Sarinah bermasam muka sementara kami berdua adalah anak-anak yang beribu pada amukti Palapa?
Bagaimana bisa aku dan Supriadi asing dengan tegur sapa sementara mbah putri kami dulu masak getuk untuk usir sunyi dari lambung mbah kakung yang bergerilya di palagan Surabaya?
V
Hari ini dan seribu tahun lagi muara hormat kami anak-anak yang diasuh oleh Musi tetap sang saka merah putih.
Hari ini dan seterusnya dalam erat jabat tangan kami rawat tegak kepala peradaban.
26/1/2021