Ayat I: Nusa Suvarnadvipa
Pertiwi mengajakku mengembara di sepenjuru Sumatera, seketika ia menyihirku menjadi sepotong senja ranum di pesisir nusa Weh. Menyihirku menjadi biru teduh telaga Toba. Menyihirku menjadi kabut di puncak Kerinci yang kokoh. Menyihirku menjadi ricik air Musi yang membelah kota. Menyihirku menjadi derap kaki mamalia yambun yang menyesaki Way Kambas.
Ayat II: Tanah Javadvipa
Selanjutnya Pertiwi menuntunku berkelana di seantero tanah Jawa, seketika aku ingin menjadi debur ombak di Pelabuhan Ratu. Aku ingin menjadi semilir angin yang memeluk tubuh Bengawan Solo. Aku ingin menjadi arunika belia yang menyelimuti kubah Bromo, menjadi embus angin sore di Baluran, atau sekedar mewujud sepotong hening yang mendekap ratus stupa Borobudur.
Ayat III: Bumi Borneo
Ibu Pertiwi selanjutnya menggenggam jemariku, mengajakku berpetualang di seantero bumi Kalimantan, mendadak ia menyulapku menjadi kanopi-kanopi hijau yang membungkus Tanjung Puting. Menjadikan aku biru santun Danau Kakaban. Menjadikan aku ranum arus Kapuas. Menyulapku menjadi ricik air Barito yang menemani transaksi sampan-sampan di pasar terapung.
Ayat IV: Negeri Celebes
Pertiwi mengajakku berpetualangdi sepenjuru Sulawesi, lantas ia menyuruhku memejamkan mata, maka, menjadilah aku seekor penyu yang melayang ria di kedalaman Bunaken. Maka, menjadilah aku seekor anoa yang berkelana di rimba Morowali. Maka, menjadilah aku seekor opudi yang berenang di seantero Wakatobi.
Ayat V: Benua Cendrawasih
Pertiwi lalu meninabobokan aku, memberiku sepasang sayap, lalu terbayanglah nusa Irian dalam lelap terdalam. Aku menjadi seekor cenderawasih yang mengangkasa bersama semilir angin di Pantai Tanjung Ria. Terbang di atas damai biru laut Raja Ampat. Mengepakkan sayap bersama udara hening yang menyelimuti Sentani lalu hinggap pada beku yang ranum di kubah Jayawijaya.