Terembuslah salam dari negeri 5.030 meter, sepucuk salam perpisahan dari atap Indonesia kepada semesta. Salam dari aku sebuah gletser yang sebentar lagi usai. Cahaya matahari kian garang mendera tubuhku.
Udara yang semakin mendidih tiap hari menerjang keabadian tudung esku. Aku pamit, dilepas dengan ketidakikhlasan penduduk seluruh Indonesia. Ah kesedihan saja tiadalah cukup. Aku tetap mati dengan keprihatinan tanpa aksi.
Sayonara Puncak Jaya! Sungguh tiadalah maksud aku ingin meninggalkanmu, aku hanya gletser tua yang ringkih sekarat di tengah mekaran apatis semesta.
Usai sudah aku menunaikan kewajibanku, mendekap teduh dan mempersolek atap Indonesia. Seantero negeri menangisiku tapi tetap saja aku mati. Ah, tangis sekadar tangis untuk apa.
Sayonara! Terimalah sepucuk getir perpisahan dari gletser ringkih yang semakin senja ini. Sungguh tiadalah aku bermaksud menjadi cerita khayal dan mitos bagi generasi mendatang tentang permadani anggun yang mendekap teduh atap negeri khatulistiwa.
Aku mati di tengah banjir prihatin sepenjuru negeri. Ah, tapi apalah guna duka tanpa aksi semesta yang nyata.
X/MMXIX
