Matahari yang belia telah terseduh di cakrawala Bukit Barisan. Dingin yang senyap bersama sepotong aroma pagi yang menguar di kejauhan ufuk mengajarkan pepohonan untuk merelakan buah yang telah di ranum kan musim demi musim agar lekas dipanen sepanjang bulan petik merah.
Berkeranjang robusta turun mengembarai lereng perbukitan. Mereka mempelajari takdir agar kelak akrab berlumur mentari, agar nanti tabah menjalani musim penumbukan. Agar kelak mereka bercita rasa megah untuk kemudian siap d ikemas dan dikirim ke sepenjuru mata angin. Agar mereka nanti menjadi hulu asa dan penghidupan segenap kaum tani.
Kopi menyelinap dan mengisi setiap relung kehidupan dari desa nun jauh di lereng perbukitan hingga gemerlap perkotaan Bengkulu. Kopi menjadi bagian dalam penggerak peradaban.
Secangkir robusta pekat dengan uap yang mengudara tidak hanya menjelma selimut pengusir dingin malam berkepanjangan. Ia adalah alasan bagi tungku dapur tetap hangat mengepul, memastikan anak-anak tani terdidik layak, mengganjal setiap perut, mengobati lelah Pak Tani paska musim petik raya, dan menghuni dompet Bu Tani agar ia leluasa memperoleh sembako untuk keluarganya.
Robusta yang tersaji tidak sekadar secangkir kafein hitam penghalau kantuk berkepanjangan dan meminumnya tidak semata menandaskan segelas kopi dalam sebuah ritual pengusiran udara dingin.
Menenggak kopi adalah upacara menghormati jasa tani yang hidup bersahaja dan turut pula memberi asa bagi masa depan cerah anak-anaknya. Mengingat jasa industri rumah sederhana yang mengemas bubuk kopi agar siap dikirim ke sepenjuru.
Mengingat pula mereka yang menjadikan setiap tegukan kopi disesaki oleh cita rasa megah. Mengingat juga distributor yang menyusuri jalur nadi distribusi mengirim kopi agar tiba di gerai-gerai kopi lokal yang tiada surut dikunjungi para penyeduh dari sepenjuru mata angin untuk berteduh.
Demikianlah hikayat robusta yang menggerakkan peradaban dan membidani asa untuk lahir, tumbuh, dan bertahta dari hilir desa kopi di jauh perbukitan hingga muara gemerlap perkotaan.
VIII/XII/MMXIX