rosé | 34

947 96 7
                                    

rosé | chapter tiga puluh empat

*

*

*

Madam Sarah mempersilakan Lavirna untuk masuk. Dari tempat duduknya, Madam melihat Lavirna sudah membawa nampan besar berisikan menu makan malam. Memang, dibanding siapapun orang di sini, Madam Sarah memang terbiasa makan malam seorang diri karena menurutnya, dia akan lebih nyaman tanpa ada yang memperhatikan. Namun, malam ini nampaknya agak berbeda.

"Ikutlah makan denganku. Yang Mulia akan bergabung setelah beres mengurus sesuatu di balai kota, kurasa ia akan tiba sebentar lagi."

"Tapi, Madam. Kurasa tidak perlu," jawabnya dan menaruh hati-hati nampan di meja hitam yang ada di ruangan tersebut. "Aku akan makan dengan yang lain."

"Apa-apaan kau ini? Kau adalah tamuku, bagaimanapun. Jadi, makanlah untuk malam ini bersama kami."

"Tapi, aku tidak ingin.."

"Karena Yang Mulia? Tenang saja, ini hanya makan malam. Tidak akan ada pembicaraan yang mengusikmu, kau percaya kepadaku," tukasnya cepat. "Kau jadi sangat khawatir sejak beliau tiba di sini." Madam Sarah sudah memancangkan perhatiannya ke wajah Lavirna. Karena perkataannya itu, Lavirna jadi agak menunduk. Apakah terlihat sejelas itu ia terus menghindari Pangeran Darke?

Beberapa menit setelahnya, Lavirna pun bangkit.

"Tetap mau pergi?"

"Ak—aku akan ke mengambil makanan untuk Yang Mulia juga, setelah itu bergabung." Yah, mungkin. Di momen tersebut, Lavirna berharap dengan sungguh-sungguh Ave mencarinya kemudian merengek kepadanya. Jelang malam begini, Ave biasanya jadi lebih rewel dan manja. Kadang meski sudah di kamarnya dan hendak tidur, Ave enggan melepaskan Lavirna sampai Lavirna harus menemani Ave hingga tidur dengan pulas. Tapi, masalahnya Ave tidak terdengar menangis atau apapun.

Lavirna keluar dari ruangan itu, mendekap nampan hitam di depan ada saat derap langkah memantul. Lavirna mengangkat wajahnya dan mendapati sosok tersebut sudah berjalan ke arah ruangan Madam Sarah. tentu saja, sosok itu sudah melihat Lavirna dan berhenti sewaktu mereka saling berhadapan.

Darke memandangnya intens. "Mau kemana? Masih mau pergi dariku? Apakah kau sudah memutuskan akan ikut denganku setelah ini?"

"Yang Mulia, bukankah jawabannya sudah jelas?'

Darke meringis. "Tidak, aku tidak menerima jawaban seperti itu." Ia menyerahkan bagian luar pakaiannya kemudian menghela napas. "Mengapa kau sangat keras kepala, astaga. Aku tidak mungkin terus membunjukmu kan?" Ekor matanya melirik Lavirna sesaat ia juga melepaskan pedang dan menyerahkan ke satu pengawalnya. "Kan?"

"Aku tidak ingin kau membujukku."

"Jadi, aku harus apa?" Ia bergerak hati-hati ke depan Lavirna, memicu debaran jantung perempuan tersebut. Meski garis-garis lelah nampak di wajah tegasnya, Pangeran Darke masih saja tampan dan terlihat menawan. Mungkin Lavirna tertipu pandangannya, mungkin ini efek karena sudah lama tidak berjumpa. Atau mungkin dia hanya merasa demikian karena rindu? Lavirna berusaha mempertahankan ekspresi teguhya.

"Tidak harus melakukan apa-apa, Yang Mulia. Aku permisi."

.

.

Darke tentu tidak lupa. Setidaknya tersisa lima hari lagi sampai hari penobatannya, jika dia tidak muncul di pelataran istana Vacroz, mungkin akan ada banyak pengawal yang menyusul kemari hanya agar Darke kembali ke tempat tersebut. Sebelum mendatangi ruangan Madam Sarah untuk makan malam, Darke berbelok ke arah kamar yang sudah Madam Sarah siapkan. Di sana, dia punya ruang gerak untuk dirinya sendiri sembari melepaskan pakaiannya. Setelah itu, ia berjalan menuju kamar mandi dengan bak besar penuh air hangat. Entah sejak kapan, Darke memang selalu berpikir bahwa berendam dengan air hangat adalah cara ampuh melepaskan stres. Toh akhir-akhir ini, ia bekerja sangat keras dan Darke masih harus memikirkan langkah-langkah setelah ia resmi menjadi raja baru.

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang