rosé | 02

4.4K 333 21
                                    

rosé | chapter dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rosé | chapter dua

*

*

*

"Sudahlah, berhenti menangis," Marlene, selaku pengurus istana menggerutu di sebelah gadis tersebut. "Tidak ada gunanya, sekarang kau harus ikut kami ke ruang mandi untuk mengurus tubuhmu ini."

Lavirna mendongakkan wajah. Matanya sembab dengan bulu mata yang basah. "Apakah mereka akan membunuh keluargaku?"

Marlene hanya bergeming.

"Jawab aku... kumohon."

"Kau hanya harus berdoa semoga mereka tetap selamat," jawab wanita itu lemah. Lavirna tidak pernah menyangka bahwa upaya pelariannya justru mengantarkannya ke sini. "Beruntung karena kau tidak terluka. Siapapun gadis yang kemari setidaknya harus melewati serangkaian upaya mengerikan untuk menyelamatkan hidup mereka."

Lavirna meringis. "Oh ya? Di mana mereka sekarang?"

"Telah tiada," ia bergumam lirih. Marlene pun akhirnya menarik tangan kurus Lavirna agar berjalan dengannya. "Para gadis hanya punya satu malam untuk membuktikan apakah mereka layak menjadi penghibur di Aula Besar atau ..."

"Atau apa?" desak gadis itu, nampak gemetaran. "Mereka akan dibunuh?"

"Begitulah." Marlene memperhatikan wajah Lavirna dengan seksama, seiring langkah mereka di lorong istana yang sepi itu. "Dengar," dia berdiri di hadapan Lavirna yang masih tidak stabil tersebut. "Pilihannya hanya dua; bertahan hidup tapi menjadi budak atau mati. Kau harus memilih salah satunya."

Lavirna terisak kembali. "Mengapa? Mengapa aku tidak bisa sepertimu saja? Bekerja di sini? Aku punya keluarga...aku ingin berguna untuk mereka."

"Karena kau cantik.... dan itu adalah kutukan."

"Ap—apa maksudmu?" Lavirna mengerang. "Kau pikir diriku ini cantik? Dengan kulit menjijikkan ini?" Ia hendak mengores lengannya dengan kuku tangannya namun Marlene cepat mencekal tindakan gadis itu. "Atau karena wajah mengerikan ini?" Ia hendak mencakar wajahnya namun Marlene kembali bertindak, menahannya. "Aku tidak ingin semua ini! Ini bukan kecantikan! Mengapa .... mengapa harus ada yang mendefisinikan kecantikan seperti itu? Aku tidak mau menjadi cantik!" Ia menangis tersedu-sedu.

Melihat hal tersebut, Marlene pun hanya mendesah pelan. Ini bukan yang pertama untuknya, melihat bahwa seorang gadis menawan justru menangis meraung-raung seraya membenci tampilan fisiknya karena fisik sempurna itu mengantarkan pada nasib buruk; menjadi budak di istana.

Tetapi untuk kasus ini, Marlene justru semakin bersimpati. Gadis di depannya bukan hanya akan berakhir mengenaskan di ranjang istana, melainkan pula akan menjadi selir raja atau ... yang terburuk dari segalanya.

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang