rosé | 89

213 14 1
                                    

rosé | chapter delapan puluh sembilan

*

*

"Ibu pulang! Lihat, Jeannate! Ibu sudah pulang!" Iz berseru heboh, bahkan masih setengah mengantuk dan berlari-lari dalam balutan piamanya yang kebesaran. Iz mendekap Lavirna dengan senang. Mav menyusul di belakang, berjalan lebih santai dan mendekati Lavirna tanpa berkata apapun. Jeannate yang tiba terakhir, langsung menangis di pelukan Lavirna.

"Ibu, jangan pergi lagi."

Lavirna mengusap punggung Jeannete lembut. "Jangan menangis, kau jadi anak baik selama ibu pergi, kan?" Namun Jeannate menangis sangat keras, memeluk tubuh Lavirna lebih erat. Lavirna mencium wajah Jeanatte penuh sayang. Ia mengusap rambut gadis kecil itu.

Iz merajuk. "jangan cengeng! Ibu sedang punya bayi, tauk!" katanya ketus. Iz minta pelayan untuk mengantarkannya ke ruang makan untuk sarapan. Mav mengekori dengan tenang. Jeannate berjalan sembari digandeng Lavirna. Sesekali, Jeannate menatap Lavirna dengan sesenggukan yang awet. Lavirna tidak tega menyaksikan anaknya sesedih itu, jadi dia membujuk Jeannate dengan pai beri lezat dan menyuapi Jeannate dengan sabar. Darke bergabung dan mengatakan Iz lebih segar daripada biasanya, Mav lebih kalem dan Jeannate terlihat lebih gampang menangis. Darke meminta Lavirna ikut dengannya setelah sarapan.

"Anak-anak membutuhkanku, kau lihat sendiri? Aku tidak akan mau pergi lagi setelah ini." Kehamilan makin membuat Lavirna benci pergi keluar. Ia gampang merasa pegal dan perutnya kram. Tabib diminta datang nanti siang. Lavirna menatap Darke lurus. "Jika kau membenciku, seridaknya jangan membuatku jauh dari anak-anakku. Itu yang terburuk."

Darke menoleh kecil. "Aku tidak pernah membencimu, Lavirna."

"Oh, sudahlah," katanya seraya duduk di tepian ranjang. Lavinra melepas gulungan rambutnya lantas melepas sepasang sarung tangannya. Ia mendelik waktu Darke mendekat dan mengusap perutnya. Tidak ada komentar apa pun, Lavirna membiarkan Darke terus mengusap perut bulatnya. "Dia baik-baik saja."

"Aku tahu."

"Kau berharap aku kehilangan anak ini? Tidak akan semudah itu," katanya ketus.

"Aku tidak pernah berharap kehilangan anak ini, Lavirna. Kau selalu menuduhku secara sembarangan." Darke menatap Lavirna lekat-lekat. "Kau istriku. Dan ini kelak jadi anakku, bagaimanapun keadaannya."

"Itu mengejutkan."

"Apa maksudmu?"

Lavirna menyingkirkan tangan Darke. Tubuhnya sekarang lebih besar dari sebelumnya, dan sejujurnya, kehamilan selalu membuatnya repot. Ia melepaskan gaunnya lalu mengenakan gaun lebih tipis. Perjalanan ke istana membuat Lavirna hampir muntah tiga kali. Beruntung, dia masih bisa menahan lonjakannya dan berakhir mual-mual saja. "Kau tidak ke mana-mana hari ini?" Ia agak menoleh kecil. "Kupikir kau agak sibuk."

"Nanti sore akan ada pertemuan di istana utama. Aku mau kau datang, tapi sepertinya kau agak lelah," Sejenak, pria itu merapatkan tubuhnya dengan berdiri di belakang Lavirna. Wajahnya menyuruk ke leher Lavirna yang indah. "Aku suka sekali harum tubuhmu, Sayang."

"Menyingkirlah."

"Ayolah, kau paling senang aku ciumi," godanya.

Lavirna melenggang pergi. Berdekatan dengan Darke selalu memicu debaran jantungnya jadi tidak jelas. Ia membenci Darke sampai ke tulang, dan tiap berdekatan dengan Darke hanya memancing alarm bawah sadarnya agar berjauhan dari Darke. Menyingkir dariku! Enyahlah kau! Namun Lavirna sedang hamil dan keinginan untuk terus diperhatikan tidak terelakkan. Ia agak senang tadi Darke tidak ke mana-mana dan terus dekat dengannya. Meski di lain sisi, ia tidak senang menatap wajah Darke yang sangat arogan tersebut.

Lavirna mendekati jendela. Sudah lama sekali rasanya ia tidak berkeliling istana, menengok taman kecilnya atau sekadar melihat pengawal istana memasukkan kuda-kuda gagah ke istal istana. Namun, ia benci sekali jika harus keluar dan merasa mual sampai tidak karuan.

"Ratuku, kau tetap yang tercantik."

Lavirna merasa punggungnya merinding tidak nyaman. Darke berhasil mendekat lagi. Terpaan napasnya terasa di tengkuk Lavirna yang terbuka. Sepasang tangan Darke menelusup masuk ke dalam gaun tipis Lavirna, menyentuh kulit Lavirna yang meremang hangat. Ia mengusap paha Lavirna yang pucat, menggodanya ringan sampai Lavirna melenguh.

Lavirna terhenyak, namun tidak memberontak. Darke menciumi sisi bahunya dan membelai lebih dalam pahanya. Lavirna hanya menatap lurus ke halaman istana. Kau tetap yang tercantik. Hinaan itu seharusnya angin lalu, namun Lavirna agak tersinggung. Tercantik.

Menjelang sore, Jeannate setidaknya harus memastikan Lavirna ada setiap setengah jam sekali. Ketika Lavirna duduk untuk menyantap camilan di pelataran istana, Lavirna yang berjalan ke lorong istana untuk mencari Iz dan Mav agar mandi, atau Lavirna yang menuntun anak-anak sampai ke kamar mereka. Jeannate berbaring dan menatap mata Lavirna. "Ibu, kau tidak akan pergi, kan? Saat aku bangun, kau tetap di sini kan?"

Lavirna tersenyum. Tangannya mengelus helai rambut Jeannate. "Tentu saja. Aku tidak akan pergi."

Di ranjang sebelah, Mav mulai menyahut, "Ibu, kapan adik lahir?"

"Masih beberapa bulan lagi, Sayang."

"Adik lahir, dia akan canrik sepertiku?" celetuk Iz di ranjang sebelah. Iz duduk dengan mata memancang pada Lavirna. "Ibu, dia pasti cantik, kan?"

"Bisa saja dia laki-laki."

Iz mengatupkan bibir. "Aku amu adik perempuan lagi. Jeannate tidak seru, dia sering menangis!" Lavirna coba meenangkan anak-anak. "Selamat malam, Bu!" katanya dan berbaring. Iz selalu rewel seharian, tapi dia tidak pernah menangis kalau Lavirna jauh. Berbeda dengan Mav yang mulai terlihat lebih dewasa dan mulai membimbing adik-adiknya. Sementara, Jeannate sangat menuntut perhatian Lavirna sampai Lavirna tidak tenang jika berjauhan dengan putri kecilnya. Jeannate membuka matanya sedikit.

"Aku masih di sini, Nak," gumam Lavirna.

"Aku tahu, Bu. Kalau adik lahir, apakah kau masih sayang padaku?"

"Apa maksudmu bertanya begitu? Tentu saja, aku sangat sayang padamu. Tidak ada yang berubah." Lavirna menunduk sedikit untuk mengecup kening Jeannate. "Mimpi indah, Nak." Jeannate menggeliatkan tubuh sedikit, lantas menarik selimutnya sampai ke bahu. Ia memejamkan mata sementara Lavirna mengelus rambutnya lembut. Lavirna mulai menyanyikan lagu pelan sampai Jeannate benar-benar terlelap. Di ranjang masing-masing, Iz dan Mav sudah masuk ke alam mimpi mereka. Lavirna bangkit dan keluar dari kamar. Darke sudah menunggunya.

"Kau mengagetkanku!"

Darke tersenyum. "Aku tahu kau bersama anak-anak. Ayo, kau juga butuh istirahat," katanya pelan. Tangannya merangkul pinggang Lavirna. Wanita itu tidak bereaksi, hanya melangkah beriringan bersama Darke. "Jamuan malam ini membosankan. Untung aku pulang cepat, istriku sudah menungguku." Lavirna tidak membantah atau apa, dia hanya masuk ke kamar dan mengganti gaunnya dengan gaun tidur lalu bergabung naik ke ranjang. Tubuhnya mudah lelah sampai ia butuh tidur lebih lama. Darke setia menemaninya sampai pagi.

[]

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang