rosé | 68

246 35 7
                                    

rosé | chapter enam puluh delapan

.

.

Diperkirakan waktu kejadiannya sekitar dua jam lalu, butuh sekitar satu jam lebih agar api tersebut padam.

Lavirna langsung mendekap tubuh Ave, menangis sejadi-jadinya, dan mencium pipi putranya. "Bagaimana dengan yang lain?" Matanya pedih, dan kepulan asap pekat masih menyelubungi wilayah pondok tersebut. Setidaknya belasan rumah hangus terbakar, pondok Lavirna jadi salah satu yang hangus pula, tapi masih banyak harta benda yang berhasil diselamatkan oleh dayang-dayang dan prajurit yang sigap mengangkut semuanya ke tempat aman. Lavirna langsung memandangi yang lain.

"Mereka selamat, tapi terluka. Sekarang sedang berkumpul di rumah yang tak terbakar," jawab Dayang Mary.

Lavirna mencelus. Untunglah Ave sedang tidak ada di dekat pondok, melainkan diajak untuk berjalan-jalan ke dekat danau, jadi dia terhindar dari mala petaka itu. Tapi berbeda nasib dengan beberapa warga, yang menangis, seraya menunggu mayat-mayat keluarga mereka yang jika beruntung masih bisa diselamatkan. Api sangat mudah meluas, karena bangunan yang sepenuhnya dari kayu dan jerami, dan Lavirna mendekati mereka dengan hati pilu.

"Kebakaran itu dari satu pondok, kemudian menyebar cepat." Prajurit berdiri di sebelah Lavirna. Wanita itu jelas tak kuasa menahan air matanya. Para ibu terlihat hancur, merasa sangat sedih menunggu kabar dari anak-anak mereka yang tadi terjebak di sana karena mereka semua dititipkan di rumah sedangkan mereka bekerja sebagai buruh di desa sebelah.

*

*

Tiga hari berikutnya, Lavirna mulai sedikit tenang dan stabil. Tabib berkunjung ke pondoknya yang baru seraya memeriksa kandungannya. "Yang Mulia, untuk sekarang, Anda sebaiknya istirahat saja. Jangan terlalu banyak pikiran." Yah, Lavirna sempat jatuh sakit kemarin, bahkan sampai demam tinggi.

"Hm, ya."

Setelah kejadian kebakaran itu, dia benar-benar kalut dan sedih. Beberapa warganya diungsikan ke tenda-tenda panjang yang dibangun olehnya dan sepasukan prajuritnya. Beberapa menanti bantuan dari istana, namun selama itu pula tak ada tanda-tanda Darke akan menurunkan banyak stok makanan atau pakaian. Padahal mereka tak punya apa-apa lagi. Lavirna sebisa mungkin memberikan yang dia miliki, dan dapat sumbangkan. Termasuk stok susu, pakaian masih layak dan beberapa selimutnya. Ave turut membantu, melihat bagaimana bocah sebayanya justru kehilangan orang tua dan sanak saudara.

"Ibu, kasihan sekali," katanya dan mulai menyisihkan sebagian pakaiannya untuk diberikan. "Aku tak butuh ini. Mereka pasti kedinginan, jadi berikan saja, Bu." Ave terlihat muram, dan mulai mengepak lagi beberapa pakaian yang dia miliki. Selama itu pula, Lavirna bolak-balik mengurusi pengadilan dan hak asuh Ave agar jatuh ke tangannya. Jujur, tubuhnya hampir akan tumbang.

"Ada tamu."

Lavirna mengangkat wajahnya sedikit. "Dari istana?" Tak berapa lama, Lavirna mulai bangkit keluar pondoknya. Dia menyaksikan tiga orang yang tengah membagikan makanan-makanan, termasuk persedian gandum, roti hangat, susu murni, dan beberapa kilo daging yang kalau dibagikan mungkin jumlahnya terlalu kecil namun para pengungsi nampak senang.

"Nenek?"

Wanita tua itu berbalik dan tersenyum. Dia membungkuk. "Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia." Ia meminta Walter untuk lanjut memberikan makanan dan pakaian yang turut diangkut keretanya. Lavirna mendekat seraya mendekap tubuh hangat itu. "Yang Mulia, kami punya sedikit saja yang bisa kami berikan."

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang