rosé | 66

241 41 14
                                    

rosé | chapter enam puluh enam

.

.

Gedung pengadilan Vacroz memancarkan aura tak mengenakkan. Bagai menelan sup kaus kaki yang tidak dicuci berhari-hari. Lavirna menyipitkan mata, mendongak seiring matanya memindai tiang-tiang raksasa yang gagah. Kemudian dia menoleh ke arah pengawalnya. Sore ini, beres mengurus Ave yang sekarang tengah diasuh oleh satu pelayan barunya, Lavirna datang ke gedung pengadilan. Tugas ini bisa saja diserahkan kepada orang kepercayaannya (segelintir pelayan yang mundur dari istana dan ikut bersamanya setelah Lavirna resmi menggugat cerai Darke tempo hari). Namun, tidak, Lavirna bersemangat untuk mengurusnya sendiri.

Bercerai tak lagi menakutkan, tak lagi seperti suatu jurang mengaga yang akan menelannya. Bercerai mungkin melepaskannya dari jerat tak nyaman ini.

"Untuk keluarga kerajaan, ada aula khusus yang dipersiapkan oleh pihak pengadilan."

"Kau tahu apa? Hal lucu lainnya adalah Darke akan terus menentangku sampai di meja hijau. Tapi aku tak peduli lagi." Lavirna meremas tangannya. Orang tuanya bahkan terus membujuk, membujuk, dan membujuk dengan dalih "dia kan raja" atau "mau apa kau setelah gelar ratumu dicopot begitu saja?". Mereka lebih panik dengan fakta Lavirna bukan lagi keluarga kerajaan dibanging apa pun. Katanya, hidup susah tidaklah enak, kembali jadi rakyat jelata hanya melukai ego mereka yang sudah terbiasa hidup serba dilayani.

Lavirna cukup sadar, setelah perceraian ini, hanya ada dia dan Ave. Dan bayi kecil dalam kandungannya. Lavirna cukup waras untuk merencanakan selanjutnya; dia akan uang dari keluarga kerajaan sesuai dengan perjanjian pra nikah mereka, pindah dari Vacroz dan membangun bisnisnya sendiri. Meskipun terpisah dari keluarganya, Lavirna yakin akan merasa cukup bahagia dengan kedua buah hatinya.

*

*

Lucia menarik selimutnya, agak bingung. Istana sedang gonjang-ganjing; banyak pembicaraan tak sedap dari pelayan, Raja Darke tengah dalam suasana hati buruk sampai mendekatinya saja sulit. Para keluarga kerajaan terus membuat desas-desus soal adanya kasus perselingkungan yang terjadi antara Lavirna dan sosok yang masih misterius. Sungguh? Ratu mereka? Tuduhan itu terus bergulir tiada henti.

Darke sempat mengatakan bahwa tak mungkin Lavirna berusaha bercerai dengannya, kecuali ada lelaki lain di samping perempuan itu. Darke makin marah mengetahui kemungkinan itu bisa saja benar; Lavirna selingkuh. Lavirna tengah mengandung namun begitu berani menjadikan Darke sebagai pihak suami yang diselingkuhi. Lucia belum berani membayangkan akan ada konsekuensi buruk apa jika itu terjadi. Darke terkenal tak kenal belas kasih jika menyangkut perselingkuhan dan menyangkut istri tercintanya.

Ngomong-ngomong, Lucia rutin mengirimkan uang yang dia dapatkan dari Sir Alle. Sejujurnya, Lucia masih merasa berat hati karena terlibat dalam urusan rumah tangga Darke dan Lavirna. Nasi sudah jadi bubur, sekarang dia ikuti saja alur ini.

Ia meremas selimutnya, merasa linglung sejenak. Semalam ia ingin menghampiri Darke, menenangkan pria itu, ia hampir terkejut betapa Darke terlihat geram. Darke sempat mengunjungi pondok isrinya, namun respons yang didapat tidak menyenangkan.

"Aku akan bawa anakku jauh darimu jika kau berani memaksaku lagi, Yang Mulia!"

"Lavirna, kau hilang akal! Kupikir ada yang salah denganmu!" Darke tak kalah berteriak.

"Kupikir kau lah yang hilang akal, Yang Mulia!" balasnya sengit.

Untuk ukuran ratu, Lavirna tak lagi memikirkan bagaimana tutur kata atau sikap sopan terlebih pada suaminya yang berstatus sebagai raja. Lucia makin merana karena semua ini jelas bermula darinya.

Pintu membuka, Lucia mengusap matanya yang perih dan melihat Darke berdiri di ambang pintu. Darke menyuruh pelayan keluar satu per satu, hingga tersisa mereka. Darke berjalan tegap, mendekati ranjang Lucia yang nyaman, dan memandang Lucia. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh dagu perempuan itu. "Kau terlihat cantik."

"Terima kasih, Yang Mulia. Apakah Anda merasa lebih baik? Apakah ada yang dapat saya lakukan?"

Darke mengusap sepanjang rambut Lucia yang hangat dan lembut. Dia mengusap bagian bahu Lucia yang terbuka. "Kurasa kau harus tetap di sini bersamaku. Keadaan kacau, aku kesepian." Darke melipat bibirnya pahit. "Kau harus bersamaku."

Lucia tak punya pilihan. Darke langsung mendekapnya erat, kemudian mengecup dahinya.

"Apakah aku memperlakukanmu dengan buruk, Lucia? Kau takkan menghilang lagi, kan?"

"Ti... tidak, Yang Mulia."

Lucia memejamkan matanya, merasa sesak. Seharusnya dia tak begini, seharusnya sejak awal dia tak perlu mengiyakan tawaran dari Sir Alle atau wanita misterius dalam tudung hitam tersebut. "Yang Mulia, bagaimana dengan pernikahan Anda? Bagaimana dengan ratu?"

"Aku yakin dia lambat laun akan menyetujui keputusanku. Dia hanya... geram saja, tapi dia bisa apa tanpa diriku?" Sosok angkuh itu bersuara lantang. Darke mengusap punggung Lucia yang telanjang, membuat Lucia bergidik sejenak, kemudian Darke menarik wajahnya untuk menatap Lucia. "Aku akan tetap menjadikanmu selirku, jangan khawatir." Ia tersenyum simpul.

*

*

"Ibu! Ibu!"

Pintu membuka, Ave cepat melompat ke dekapan Lavirna. Selama Lavirna mengurus perceraian, dia menggunakan sebagian harta yang ditabungnya selama ini. Termasuk untuk membayar pelayan-pelayan, termasuk Dayang Mary yang ikut menemani Ave. "Yang Mulia, Anda sudah kembali."

"Terima kasih sudah menjaganya." Lavirna tersenyum lantas mengamati wajah Ave, setelah beberapa saat. "Apakah kau nakal?"

"Tidak, Ibu," jawab Ave. "Apakah kita takkan bertemu ayah lagi?"

Lavirna mengusap wajah putranya. "Hm, untuk sekarang kita tinggal di sini. Kau merasa nyaman, kan? Pondok ini cukup bagus, kan?" katanya pelan.

"Yah, tapi aku mau naik kuda seperti dulu."

"Sayang, kita akan naik kuda lagi. Bersabar sebentar, ya."

Dayang Mary menunduk seraya berucap, "Pasukan istana sempat datang dan meminta agar Anda dan Pangeran kembali ke istana. Yang Mulia takkan mau menunggu lebih lama atau kembali kemari untuk kemudian mendapat perlakuan 'tidak menyenangkan' yang sempat Anda lakukan. Maaf saya berbicara lancang."

Lavirna bangkit, menggandeng Ave. "Selama proses pengadilan berlangsung, aku akan tetap di sini. Kalian... kalian bisa memilih untuk kembali ke istana atau bersamaku. Aku akan menerima semua keputusan kalian." Lavirna memandang turun, Ave menatapnya tanpa berbicara apa pun. "Aku cukup tenang di sini, dan jelang kelahiran nanti, aku akan tetap di sini pula."

"Yang Mulia, apakah Anda akan baik-baik saja? Anda adalah ratu, di sini... cukup asing dan terbuka untuk siapa saja datang. Anda bisa celaka."

"Aku bisa melindungi diriku dan putraku, Mary."

"Yang Mulia, saya sangat khawatir...."

Lavirna terdiam sejenak. Dia memandang Ave lagi, kemudian gundukan di perutnya, kemudian dia merasa tak mungkin untuk kembali. Tak ada jaminan Darke akan menuruti kemauannya; untuk tetap setia. Tak ada jaminan tak ada gadis muda lain yang masih segar dan cantik lagi setelah Lucia. Lavirna tak menuntut banyak, bahkan dia tak ingin harta yang bergelimang dan banyak tuntutan lain. Hanya Darke. Suaminya. Hanya Darke yang tetap di sisinya sebagai suami tanpa selir, apakah sesulit itu?

"Mary, ini keputusanku." Lavirna terlihat letih sekarang. Karena hamil, atau karena tekanan stres, Lavirna terlihat lebih ringkih dari biasanya. Namun dia tak mau menunjukkan itu terlalu jauh, jadi dia menegakkan bahunya dan tersenyum. "Jika ini hidupku, aku boleh memutuskan yang terbaik, kan?"

"Ibu..."

Lavirna tak kuasa menahan tangisnya. "Aku hanya ingin keluarga kecilku, keluarga yang utuh tanpa ada orang lain. Aku ingin punya kehidupan di mana aku merasa cukup, tanpa ada selir atau perempuan simpanan. Suamiku menyayangiku dan anakku, aku ingin itu saja."

[]

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang