rosé | 47

357 41 11
                                    

rosé | chapter empat puluh tujuh

.

.

Kemarahan itu bagaikan segerombol gagak hitam yang terbang berkeok tanpa arah. Lavirna meremas tangannya lantas mengerang keras. Tidak berapa lama, seseorang mengikutinya dari belakang dan menggapai lengannya. Itu Darke, sudah diduga. Lavirna menundukkan kepalanya, masih meringis.

"Apakah kau kesal?"

Lavirna berdecak sinis. "Haruskah aku, Yang Mulia? Bisa kau bayangkan jika suatu hari nanti aku didatangi pria tampan yang bilang akan menjadi penjagaku atau bahkan ... pendampingku?"

Darke meraih bahu Lavirna sehingga mereka berhadapan. Wajah Darke nampak kaku. "Jadi, kau cemburu?" tanyanya tegas. "Begitukah? Karena Lucia?"

"Kau sudah berjanji kepadaku bahwa tidak akan ada lagi setir atau perempuan cantik yang dibawa ke istana. Apakah kau lupa dengan janji itu? Waktu kau belum menikahiku?" Lavirna mengangkat wajahnya. Bibirnya masih terkatup kaku tapi matanya nampak nanar. Tidak, dia tidak mau menangis. Sekarang, Lavirna justru ingin meninju dinding atau membanting cermin dengan suara prang kencang melukai telinga. "Kau akan mengingkari janjimu, Yang Mulia Raja Vacroz?"

Darke jelas tersinggung karena perkataan tersebut. Dia tidak melonggarkan pegangannya di bahu Lavirna, justru menatap lebih lekat sepasang mata Lavirna. "Kau pikir begitu?"

"Jadi, aku pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."

"Setidaknya, berikan dia kesempatan."

Lavirna tersenyum miring. Tadinya dia ingin tertawa tapi rasanya agak kurang etis apalagi dengan sikap tegang keduanya. "Bagaimana jika aku bilang bahwa jika dia yang tinggal di sini, aku dan Ave yang justru angkat kaki?" Lavirna mencebikkan bibirnya. "Aku serius, Yang Mulia. Jika kau menjadikannya selir, aku yang akan pergi. Status Ratu tetap akan mengikutiku tapi mungkin aku tidak akan pernah menginjakkan istana ini lagi."

Darke tersentak hebat. Pertama, dia tidak tahu Lavirna dapat bicara setegas itu dengannya. Kedua, dia tidak dapat bayangkan jika itu memang yang terjadi di depan matanya. Ave bahkan baru akrab dengannya dan harus pergi? Sementara itu, Lavirna .. pergi juga? Darke menggeleng keras. "Ini tidak benar. Siapa yang mengatakan aku bahkan akan menjadikannya selir? Apakah ada yang menyebarkan gosip tidak benar akan raja mereka? Apakah aku harus memenggal kepalanya?"

"Itulah kau—selalu berusaha melempar ke orang lain." Lavirna menyingkirkan tangan Darke dari tubuhnya dan memandang lurus. "Pikirkan dengan baik, Yang Mulia. Selangkah kau memutuskan itu, aku juga punya hak untuk pergi darimu. Aku tidak pernah mau adanya orang ketiga, paham? Jadi, permisi." Lavirna membalikkan tubuh lantas melangkah dengan perlahan. Kaki-kaki kecilnya nampak tersembunyi di balik gaun namun dia berusaha mempercepat langkahnya atau dia akan goyah. Air mata sudah meleleh di tepian matanya. Dia benci dikonfrontasi seperti ini.

.

.

Lavirna kecil sering mendengar suara-suara di balik pintu. Jadi letak kamarnya memang agak terpojokkan dibanding kamar orang tua, nenek bahkan kakak-kakaknya. Tapi setelah makan malam, Lavirna akan diantar untuk tidur padahal dia tidak mengantuk. Karena itu, dia sering mencuri dengar dari celah yang dibiarkan terbuka karena dia sering bermimpi buruk jika pintu tertutup sangat rapat.

"Tapi bagaimana kita membesarkannya? Terlalu beresiko. Aku sudah ingin mengantarkannya ke Kuil Hestia. Setidaknya, di sana dia akan lebih aman." Itu suara ayahnya yang melengking.

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang