rosé | 30

982 106 22
                                    

rosé | chapter tiga puluh

*

*

*

Ratu dan Cassia sudah meninggalkan aula terlebih dahulu. Selanjutnya, Lavirna pun turut ditarik oleh para pelayan istana menuju bangunan istana yang lain. Setidaknya, Lavirna butuh membersihkan diri serta mengisi perut. Sementara itu, di deretan kursi tersebut, Raja sudah terduduk nyaman bersama dengan Darke setia di sebelahnya. "Kau sangat bijak hari ini. Aku seperti tidak mengenalimu, Nak. Aku hampir khawatir tadi, takut aku akan melihat pertumpahan darah."

Darke tersenyum getir. "Yah, aku juga terkejut, Yang Mulia."

"Jadi, apa rencanamu? Kau tahu kan, istana Barat murka karena insiden ini, dan kita mungkin akan kesusahan karenanya. Apakah kau punya strategi? Bisa saja .. perang." Raja agak berdeham. "Itu akan sangat mengerikan, kau tahu. Aku sudah menghubungi penasehat istana sebelum ini dan mereka sudah memprediksikan itu. Kita tidak akan memulai perang—tidak boleh—tapi kalau mereka mendeklarasikannya dengan lantang, apa boleh buat?"

"Kita lihat saja kelanjutannya. Aku akan bicarakan dengan Panglima Besar setelah ini, Yang Mulia."

Pria itu mengangguk. "Baik kalau demikian."

"Hm, Yang Mulia, kau ingat Aphote?"

"Ya? Itu kampung halaman ibumu. Aku senang berburu di sana karena hutan nyaris memanjang sampai mengepung seluruh desa. Ada air terjun cantik dan juga ladang gandum besar. Mengapa bertanya?" selidiknya. Tidak biasanya Darke menyinggung satu tempat tersebut apalagi tempat itu biasa dikunjungi sewaktu Darke masih sangat kecil, bahkan masih kanak-kanan untuk liburan sebelum pengangkatnnya sebagai raja. "Apakah kau akan pergi ke sana?"

Darke mengedikan bahu. "Entahlah, tapi tempat itu cantik kan? Madam Sarah juga tinggal di sana. Aku rindu wanita tua cerewet itu."

Sejurus kemudian, Raja pun terkekeh. "Yah! Sarah memang banyak omong, tapi dia jujur dan rendah hati. Jika aku kabari kau akan berkunjung, dia pasti akan mengadakan pawai dan festival besar, jadi pastikan kau beritahu jika memang ingin ke sana."

"Tempat itu cantik."

"Sangat. Ibumu dibesarkan di sana dengan sangat baik. Kau harus kunjungi rumah mendiang kakekmu juga, kau akan rindu tempat tersebut," jelasnya. Mengingat kenangan itu membuat hatinya damai. Raja bahkan ingat waktu pertama dia melihat sang istri yang waktu itu masih menjadi putri tuan tanah sampai akhirnya dia meminangnya. Waktu itu, dia belum ditentukan menjadi putra mahkota, jadi bisa dipastikan wanita itu pun tidak mengincar harta atau kekuasaan. Cinta mereka murni dan ajaib. Raja rindu bagaimana mereka berlarian di ladang gandum, bertelanjang kaki kemudian berakhir bermain di hutan untuk menangkap rusa jantan. Raja juga ingat betapa Darke senang menggembala domba gemuk penuh bulu di sana.

.

.

Lavirna gugup bukan main. Sesaat pelayan memandunya menunju kamar utama Darke, dia tidak tahu harus berbuat apa. Seluruh sarafnya tegang sedangkan wajahnya sudah pucat bukan main. "Terima kasih," ujarnya kepada pelayan yang sudah membantunya berpakaian bahkan menemaninya makan di dekat dapur padahal dayang-dayang Putri Cassia terus membidiknya bagaikan hewan buruan.

"Kau sudah di sini."

Satu sosok mendadak berdiri di balik punggung Lavirna, mengejutkan perempuan itu. Darke tersenyum tipis kemudian melenggang masuk ke dalam kamar. Lavirna masih mematung di tempat, menundukkan wajahnya sesaat Pangeran Darke sudah duduk di tepian ranjang berkelambu besar itu. Darke menatapnya lurus. "Kemari dan tutup pintunya rapat."

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang