rosé | 75

285 35 7
                                    

rosé | chapter tujuh puluh lima

*

*

Dayang Mary membantu membersihkan tubuh dan mencuci rambut Lavirna. Karena lebih sering menghabiskan waktu di kamar, Lavirna terlihat kurang segar, jadi Darke sendiri menyuruh langsung agar Dayang Mary mengurus Lavirna. Ada gaun bersih yang harum menggantung, dan bak mandi di ruang mandi besar itu dipersiapkan sejak pagi buta.

Dayang Mary dengan lihai memijat-mijat kulit kepala Lavirna. Pijatannya lumayan merilekskan ketegangan yang melekat di tubuh Lavirna. Kemudian, Dayang Mary ikut memijat bahu Lavirna yang pegal-pegal. "Saya akan berikan ramuan penyubur rambut dan minyak khusus agar rambut Anda lebih wangi, Yang Mulia. Anda bekerja sangat keras."

"Trims, kau yang terbaik." Ia memejamkan mata dan menyandar di tepian bak dengan air penuh sabun. Debu dan kotoran di kulitnya luruh, dan digantikan harum semerbak. Lavirna tidak pernah tahu mandi bisa membuatnya bahagia, setelah banyak kepenatan. "Kau pernah berpikir untuk keluar dari istana ini?"

Dayang Mary memijat lengan atas Lavirna. "Tidak, Yang Mulia. Saya sangat senang mengabdikan diri pada Anda dan Yang Mulia Raja."

"Oh."

"Apakah ada sesuatu yang menganggu Anda, Yang Mulia?" tanyanya pelan. Dia membasuh bahu telanjang Lavirna. Kulit wanita itu berkilau dan lebih halus, kemudian dia menyabuni dan menggosokkan hati-hati. Lavirna seperti porselen yang tidak boleh lecet atau leher Dayang Mary taruhannya. Meski berstatus tahanan, dia yang terus berada di dekat pangeran dan putri harus sehat dan terlihat cantik.

"Tidak, aku hanya pusing saja. Ada banyak pikiran." Lavirna bergeser, dan memejamkan matanya lagi. Harum bunga dipadukan dengan kayu chedar memenuhi indera penciumannya, dan Lavirna terus bersyukur diizinkan untuk punya waktu mengurus dirinya ini. "Aku hanya membayangkan bisa keluar dari sini, cepat atau lambat."

"Anda mau ke mana?"

Lavirna membuka kelopak matanya. Air menuruni sudur lehernya dan berakhir ke dadanya. Dayang Mary membilas sisa busa di belakang punggungnya hati-hati. "Entahlah, menjadi pengembara."

"Tapi Anda sangat cocok di sini, Yang Mulia. Anda masih ratu."

Ia mendecih. "Mungkin, kita tidak tahu apa yang akan terjadi." Setengah jam berikutnya, ia pun beranjak dari bak, membilas lagi tubuh rampingnya kemudian dibantu mengenakan handuk. Rambutnya tergerai berwarna hitam, pekat dan tebal. Setelah mendapatkan handuk lain, Dayang Mary membantu mengeringkan tubuh dan rambutnya bergantian. Dia diperbolehkan masuk ke kamar ganti, mengenakan pakaian dalam dan gaun yang masih baru, dan keluar setelah rambutnya lumayan kering. Lavirna masih cantik, seperti biasa. Usai mandi, kecantikannya mirip angsa yang baru selesai berenang di danau berkilau.

Di sepanjang lorong menuju kamar itu, Lavirna terus bercerita soal bagaimana kamar pangeran dan putri harus didekorasi, atau apakah Ave mengacau akhir-akhir ini. Percakapan sederhana namun membuatnya tetap bersemangat. Pesta akan digelar besok, hingga semua orang sibuk. Lavirna mengabaikannya, justru lebih tertarik apakah mereka bisa lebih lama bersama di kamar ini, apakah Mav dan Iz mudah terbangun di waktu sore hari.

Darke turut muncul, kemudian mendekati Lavirna yang ikut memandangnya. "Kau sudah selesai mandi."

"Ya."

Darke melihat Lavirna berbaring menyamping, menemani kedua bayi mereka dengan sayang. "Aku tidak pernah membencimu, kau tahu," katanya mendadak. Dengan gerakan tangan, dia meminta seluruh dayang dan pelayan meninggalkan mereka. "Semua salah paham."

"Sudah cukup, jangan merusak suasana," tukas wanita itu. "Aku tidak ingin dengar apa pun."

"Kau masih keras kepala dan semuanya."

Lavirna mengangkat wajahnya. Ia menatap dengan bibir mengatup, sedangkan parasnya semakin menawan di mata Darke. Kelopak mata dengan bulu mata panjang dan lentik, wajah berbentuk hati dengan pipi berseri, serta pancaran mata yang bersinar. Dia malaikat. "Ya, dan kau mau apa?"

Darke ikut naik ke ranjang, memandangi keluarga kecilnya. "Aku mau kau kembali padaku, cabut tuntutan perceraian itu dan aku akan membebaskanmu dengan syarat."

"Tidak."

"Kau?"

"Aku akan tetap menjalaninya meski aku tidak membunuh Lucia. Kau tidak pernah sadar kekuranganmu kan, Yang Mulia? Kau tidak pernah percaya kepadaku, kau selalu saja... membuat keadaan rumit. Aku tidak menyukainya, aku tidak lagi mencintaimu," katanya tegas. Lavirna mengusap wajah Mav. "Pernikahan kita berakhir." Darke ingin membujuk Lavirna, berulang kali. Namun tatapan mata Lavirna sangat teguh, hingga dia mengatupkan bibirnya geram.

"Apakah kau sebenci itu padaku?"

*

*

Pasukan berkuda ikut datang berduyun-duyun. Emre melihat mereka dengan mata menyipit, sembari meletakkan stok kayu terakhir. Pasukan itu memilik emblem khusus dan baju zirah yang berkilau karena mahal. Emre tidak pernah suka jika mereka datang tiba-tiba. "Mohon perhatiannya, istana akan dibuka mulai pukul empat sore hari, jadi pastikan besok kalian datang dengan membawa persembahan dan datang dengan tertib," katanya. Dia mengumumkan dengan satu gulungan dari kulit domba di tangan. "Mohon untuk tidak membuat keributan."

Pesta ini.

Emre berdecak, membenahi tali di kereta kudanya, kemudian memperhatikan sekitar. Entah apa yang mau istana tunjukkan, sepertinya mereka makin angkuh saja. Nenek sakit-sakitan akhir-akhir ini, jadi Emre bahkan kurang peduli dengan apa yang terjadi. Walter mudah panik, terus mendesaknya agar tidak berangkat karena takut nenek akan makin parah. Tetapi, mereka butuh makan dan satu-satunya agar perut mereka tetap terisi dan kenyang adalah Emre harus bekerja, mengumpulkan kayu dari hutan, mengantarkannya, mendapatkan uang untuk ditukar dengan gandum dan daging segar.

Setiap hari begitu, dan Emre mulai jengah jika ada yang bertanya apakah sempat dia mencari pasangan untuk datang ke pesta. Sepertinya, banyak orang jadi lebih suka menghamburkan uang mereka, mengenakan pakaian dijahit khusus, membawakan koin emas mereka untuk istana, daripada menyimpannya atau digunakan bertahan hidup.

"Namanya gengsi, Bung. Kau harus terlihat kaya dan berpenampilan bagus."

"Kau mau datang?" Bapak yang baru membeli kayunya itu menatap Emre. "Semua orang datang, pemuda lajang datang agar berkenalan dengan gadis-gadis cantik."

Emre mengerang. "Entahlah, aku masih sibuk sampai petang, karena ada banyak kayu yang diangkut."

"Kau pekerja keras, Nak."

Emre menanggapi dengan senyum separuh. Dia mengatakan bahwa pesanan berikutnya akan datang tepat waktu, yang dijawab terima kasih oleh bapak tua yang baik hati itu.

"Aku bisa meminjamkanmu jas bagus jika kau berminat datang." Sebelum Emre menolak, sosok itu sudah masuk ke rumahnya lagi dan kembali dengan bungkusan warna hitam di tangan. "Ini terlalu sempit untukku, dan cocok dengan tubuhku yang ramping. Waktu aku sesuaimu, aku segagah dirimu." Ia tertawa pelan.

Emre memandanginya dengan ragu. "Tapi... pesta itu..."

"Datanglah jika kau berubah pikiran. Semua orang senang datang ke sana, makanannya enak, musiknya bagus dan pesta dansanya meriah. Kau akan merasa seperti pangeran dalam semalam, Nak. Hibur dirimu sendiri, berhenti bekerja sejenak tidak apa."

Emre mulai membuka bungkusan itu, matanya hampir membuka sangat lebar. Jas itu masih sangat bagus, jahitannya rapi dan teliti, serta warna hitamnya pekat dengan bordir yang anggun. Dia mengusapnya, menatap takjub. "Ini terlalu... berlebihan untukku."

"Sudah, terima saja."

Emre memandangi lekuk jas itu, kemudian tersenyum tipis. Tidak pernah dia punya kesempatan mengenakan pakaian bagus, dan tidak pernah ada pesta yang cukup menarik untuknya. Tapi, ada Lavirna di sana. Emre akui, dia rindu melihat ratu.

[]

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang