rosé | 24

1K 98 9
                                    

rosé | chapter dua puluh empat

*

*

*

Elle menguap singkat. "Ya sudah, Yang Mulia, kita menyerah saja."

"Apa katamu? Dengar, seorang pangeran terlebih aku tidak pernah mengenal kata menyerah, paham? Harga kebebasanmu adalah untuk melakukan seluruh perintahku termasuk ini," gertaknya keras. Dengan mereka berdua yang menepi ke dekat kuda-kuda mereka, Elle bergidik dibuatnya. Mereka berdua sama-sama lelah, gusar, dan lapar. Elle tahu betapa menjengkelkan plus letih karena seharian berada di pasar dengan banyak keramaian serta memantau dari waktu ke waktu. Naasnya, upaya sebesar itu justru berakhir dengan kosong. Tidak ada Lavirna, bahkan tidak ada anggota kerajaan sepanjang mata memandang. Ini sudah hari ketiga! Demi Tuhan! Elle butuh mandi!

"Setidaknya, kita harus cari penginapan dekat sini atau kita harus tidur di hutan," jawabnya. Wanita itu menyadari tatapan keras Pangeran Silas untuk sedetik, kemudian dibalas dengan langkah pelan sosok tersebut. Kini tinggal mereka bertiga; Elle, Pangeran Silas dan pengawal karena mereka tidak ingin memancing perhatian apalagi ketiganya sudah melepaskan atribut kerajaan dan hanya terlihat mengenakan pakaian serupa rakyat biasa.

Elle mengangkat wajahnya, menelisir serupa serigala liar. Beruntung meskipun sudah berlalu seperkian bulan, instingnya tidak pernah salah. Bermodalkan satu lampu minyak di tangan, dia menelusuri hutan dan jalanan setapak sampai akhirnya mereka melihat jejeran pondok dengan atap berbentuk kubah jerami. Ada halaman yang penuh dengan kayu-kayu, serta gerobak besar. Elle melangkah, diikuti kedua pria di belakangnya yang masih terpana.

"Kau pernah kemari?" tanya pangeran. Raut wajahnya samar-samar karena penerangan yang minim, membuat kesan misterius dan seksi.

"Tidak, tapi aku tahu tempat ini cukup layak. Anda punya uang kan? Atau setidaknya kepingan perak sehingga kita bisa menyewa satu dua kamar."

Pria itu mengangguk, menoleh ke pengawalnya yang justru memberikan kepingan emas. "Aku butuh uang saja. Emas akan membuat siapapun kaget," gumam pangeran singkat. Sang pengawal pun merogoh saku celana cokelatnya, merogoh lebih dalam sampai akhirnya menemukan berlembar-lembar uang yang sudah kucel bercampur dengan sapu tangan dan uang recehan. "Bagus.." Pangeran Silas terkesiap, tidak mendapati Elle di manapun. Dia agak terkejut karena sulitnya mencari Elle sampai terdengar siulan dan sesaat pangeran mengarahkan lampu minyaknya ke dekat wajah, dia melihat Elle di teras pondok tengah melambai.

"Kemari! Kita dibolehkan masuk!" pekiknya.

"Wah, cepat sekali dia itu." Tergopoh-gopoh, keduanya pun menghampiri Elle. Malam ini, Pangeran Silas tersadar bahwa perjuangan untuk mendapatkan Rose tidak main-main. Dia bahkan seumur-umur tidak pernah terjebak di pondok dengan bau apak, lantai berdecit dan juga atap yang rapuh. Jika badai mampir, mereka akan terkubur bersama jerami, dinding semi permanen serta lampu berkedip kecil. Sejauh mata memandang hanya ada lebih banyak wilayah remang-remang, aroma mengusik serta suara Elle yang mengalun.

"Terima kasih, Tuan, untuk kamarnya. Ayo, kita harus ke sana."

.

.

Lavirna meraih pisau kecil kemudian membuat sayatan kecil di lengannya. Darah segar menetes hati-hati di cawan tersebut yang kemudian dibakar bersama dengan sejumlah bubuk kayu. Wanita itu terdiam khidmat sedangkan Charlotte menaburkan sisa pembakaran tersebut di sekitar istana kecil. "Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar semua ini berhasil. Kurasa ini langkah terakhir kita."

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang