rosé | 10

2.2K 207 16
                                    

rosé | chapter sepuluh

*

*

*

Lavirna masih enggan untuk berbicara. Persis saat dia pertama datang ke istana tersebut. Rasa pahit bersarang di ujung lidah hingga ia membisu sendirian. Apalagi, penjara kian sunyi saat mentari mulai tergelincir. Tempat ini bagaikan gorong-gorong gelap gulita.

"Makan!"

Lavirna terlonjak mendapati sang penjaga menyodorkan satu nampan. Gadis itu menggigil dan menggeleng kuat.

"Kau akan menyesal jika tidak makan." Akhirnya, penjaga itu membuka pintu sel Lavirna dan membawakan makanan di dekat kaki Lavirna. Tanpa membuang waktu, dia pergi mengunci sel dan berlalu pergi. Lavirna membungkuk, mendapati nampannya berisikan roti isi, air mineral dan satu buah apel hampir busuk.

Dia mendengar suara rusuh di perutnya, membuat dia meremas perutnya. Seingatnya, hanya tadi pagi dia makan itupun bersama Ellenoir karena kejadian sangat kacau, dia tidak mengingat apakah dia sempat berpikir lapar. Perutnya tidak dapat berbohong.

Setengah ragu, Lavirna mengangkat nampannya dan terduduk di pinggir ranjang lusuhnya. Dia mengigit apelnya dan beralih mengigit roti yang mulai terasa tengik. Petir terdengar dari jendelanya yang berpalang besi. Dia menoleh untuk mendapati badai tengah mengamuk sedangkan lampu kuning yang menggantung di ruangannya dan koridor mulai berkedip-kedip.

"Aku mendapat firasat buruk tiap petir datang, ini bukan firasat yang mengenakkan," sahut rekan sesama tahanannya.

Lavirna berhambur ke dekat pintu selnya dan menelan bulat-bulat sisa apel. "Apa yang terjadi .."

Sosok berwajah rusak itu tersenyum. "Ini cerita mengerikan di istana, kau pasti baru kan? Ah, ya, kau itu yang sering dibicarakan oleh para penjaga."

"Aku?"

"Mainan baru Pangeran, huh?" Setelahnya, dia tertawa lepas bahkan sang penjaga cepat berdeham untuk menegurnya. Dia berbisik rendah. "Apakah pangeran akan puas denganmu?"

"Aku tidak paham," sahutnya cepat. "Aku bertanya, apa yang terjadi. Mengapa kau berpikir petir membawa pertanda buruk?"

"Karena biasanya, petir muncul di hari eksekusi."

"Hah?"

Pria itu mendecih gemas. Apa sih yang gadis ini tahu? "Apakah selama ini kau hidup dalam goa, Nona? Tiap kali anggota kerajaan berbuat semena-mena maupun mengeksusi siapapun pasti hari berhujan, membuat lapangan depan bermandikan darah mereka, agar subur, katanya. Aku tahu itu sinting, tapi itu yang terjadi. Jadi, jangan aneh saat kau menginjak rerumputan, itu berbau amis darah manusia. Karena memang, banyak yang menumpahkan darah di sana."

Mendadak, nafsu makan Lavirna lenyap. Dia pernah menginjak rumput bagian depan istana, bahkan saat dia pertama datang, itu pun yang menyambutnya.

"Aku tidak bermaksud menakuti. Hanya saja, berhati-hati, pastikan kau tidak menjadi darah yang kuinjak saat aku bebas nanti," katanya dan tersenyum sinis. "Kau tahu kan, Pangeran gampang bosan dengan mainannya."

"Aku .. tidak .. mungkin."

"Siapa yang bisa menjamin? Mungkin kau nampak cantik, menggoda, nan segar sekarang. Dua tahun lagi? Tiga tahun lagi? Kalau kau terbebas justru sudah menjadi nenek-nenek? Apakah Pangeran bahkan sudi melihatmu?"

*

*

"Beritakan kepada Fiona soal yang terjadi kepada Baron. Aku mau dia menyesali juga. Aku tidak mau ada upacara pemakaman atau apapun, anggap ini sebagai kasus pengkhiatan kepada pihak kerajaan," titah Pangeran Darke dan mulai membasuh tangannya yang penuh darah pekat. Dia berbalik untuk melepas jubahnya yang bercampur darah serta rintik hujan. Malam hari ini, seharusnya dia dapat istirahat atau mendapatkan jamuan makan malam lezat. Dia bahkan ingin anggur putih dan duduk di ranjang besarnya. Tapi tidak, dia berniat menuntaskan semuanya. Baron sudah tinggal nama.

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang