rosé | 78

211 23 17
                                    

rosé | chapter tujuh puluh delapan

*

*

Emre tidak kunjung kembali. Lavirna mulai duduk dengan gelisah seraya meninabobokan kedua anaknya yang tidak terganggu meskipun kereta kuda tersebut pengap. Apakah terjadi sesuatu? Apakah Emre tertangkap? Lavirna tidak ingin terus menebak-nebak dengan hati cemas, namun dia tidak mungkin meninggalkan si kembar dalam keadaan mereka tertidur.

"Tidak ada! Aku sudah mencari ke sepenjuru istana tapi tidak ada! Tadi sempat ada suara tangis, tapi tidak terdeteksi di mana," kata Emre akhirnya muncul di pintu kereta. "Kita harus pergi."

"Kau gila? Dia putraku! Aku tidak akan pergi tanpanya!"

"Jangan membangkang, ini demi kebaikanmu. Kita bisa tertangkap sekarang!"

"Tidak! Ave!" Wanita itu menangis. "Aku mau Ave bersama kita." Ia bersikeras menurunkan tungkai kakinya hingga menginjak tanah, namun Emre bersikeras kereta harus berangkat. "Aku harus ke sana!"

"Aku akan menjemputnya setelah membawamu."

Lavirna menggeleng kuat. Matanya basah, dengan napas menderu. "Tidak. Aku tidak akan pergi tanpanya, kau dengar itu? Aku ibunya! Aku akan masuk..."

"Yang Mulia!"

Lavirna berlari dengan cepat, tidak peduli dengan kakinya yang kepayahan. Ia berjalan lagi ke dalam bangunan istana, hatinya berdebar sedangkan napasnya terengah-engah. Ia menelusuri sekitar luar istana hingga kelelahan. Suara tangis, Emre bilang dia sempat mendengar suara tangis dekat istal istana. Mungkin saja... mungkin saja Ave ada di sana. Insting seorang ibu tidak pernah salah. Ketika ia menginjak kakinya di bangunan serupa gudang itu, ia langsung tahu Ave ada di sana. Namun yang tidak disangka yaitu Sir Ale yang muncul dan terkejut. Matanya membulat. "Yang Mulia..."

"Dia jahat!" Dayang Mary muncul dengan cepat. "Ave diculik olehnya."

"Ini salah paham."

"Benarkah?" Lavirna tercekik napasnya. "Kau? Menculik pangeran?" Ia bertanya-tanya, namun bergerak cepat. Sir Ale mendorongnya keras, membuat Lavirna melotot. "Pergi dari sini!"

"Tidak semudah itu."

"Ibu!"

Lavirna berteriak, "Ave! Nak!" Ia mendorong keras Sir Ale namun pria itu sangat kuat. Dayang Mary pun ikut menerobos pertahanan pria itu, namun terdorong hingga jatuh ke tanah. "Mary!" Mereka berdua saling berdekatan, sedangkan Sir Ale mendengus kasar. "Jadi selama ini, kau... berkhianat? Kau mengincar keluargaku?"

"Kau pikir?" Ia menaikan dagunya angkuh seraya mengumpat keras. "Persetan dengan keluarga istana! Sialan kau." Ia cepat menyerang Lavirna hingga terjatuh, kemudian menindih dengan tangan mencekik leher Lavirna. Mary berusaha kuat untuk menarik tubuh Sir Ale, sedangkan Lavirna terbatuk-batuk dengan napas tertahan. Sir Ale terus mengumpat, menahan bobot tubuhnya di atas tubuh Lavirna yang ringkih, sedangkan Mary terus beringas memukul dan menarik tangannya agar menyingkir.

*

*

Darke mengerang hebat, kemudian mengangkat wajahnya. Matahari menyilaukan matanya sehingga ia beranjak dari kursi. Pelayan istana tengah sibuk membereskan kekacauan pesta; ada banyak botol, hiasan, serta kursi yang terbalik. Darke mengerang lagi, kemudian berjalan terhuyung. "Di mana yang lain?"

"Yang Mulia, maaf."

"Apa sesuatu terjadi?" tebaknya dengan wajah masam. Ia menelisir ruangan tersebut yang sepenuhnya berantakan, dan parahnya, tidak ada yang membantu membereskan selain pelayan istana. Ke mana para tamu? "Di mana semua orang?"

"Dibubarkan pagi ini. Pangeran, putri dan ratu menghilang," katanya seraya menunduk dalam.

"Menghilang katamu?!" bentaknya. Ia berjalan cepat ke kamar-kamar mereka dan tidak ada tanda-tanda apa pun. Dadanya panas, dengan kesabaran setipis kain. Darke tidak tahu apa yang terjadi dengan persis. Kesadarannya menghilang begitu saja dan dia juga tidak yakin apakah semalam dia benar-benar melakukan hal yang benar, atau apakah ada yang membuat mereka pergi? Yang benar saja?

"Papa."

Darke tercenung mendapati Ave justru menangis di dekat kakinya. Ave terlihat habis menangis, sedangkan Darke cepat membawanya ke dalam gendongan. "Kau di sini. Di mana ibu dan adik-adikmu?"

"Diculik orang jahat," katanya. "Sir Ale juga jahat."

"Apa?"

Satu dayang mendekat, kemudian menundukkan wajahnya. "Dayang Mary tidak ada di tempat, Yang Mulia." Darke berusaha menyingkir sebentar, seraya menenangkan Ave yang kembali menangis kencang. Sebenarnya apa yang terjadi semalaman tadi? Ia berusaha bertanya, tapi Ave nampak emosional dan terus menangis tanpa mau menjawab apa pun pertanyaannya.

"Baiklah, baik, kau tenangkan dirimu dahulu." Ia membawa Ave untuk mengungsi keluar istana karena belum kondusif. Di luar, dia melihat kekacauan lebih parah, bahkan tamannya yang sudah dirawat dengan baik hancur semua, termasuk dekat kandang kuda, serta sekitar gerbang istana. Darke mengatupkan rahangnya kuat, kemudian membawa Ave untuk pergi dari sana.

Mereka tiba di salah satu dalam menara, yang lebih lenggang dan sepi. Ia menatap putranya. "Jadi ibumu pergi? Bersama orang jahat? Ave menatapnya nanar, hidung merah sempurna dan mata terus mengeluarkan air mata. "Apakah begitu?"

"Iya. Ibu pergi." Ave terus menunduk. Bahunya naik turun, sedangkan Darke mulai memeluknya. "Apakah ibu akan kembali? Mengapa ibu pergi tanpa diriku? Apakah ibu tidak sayang denganku? Ibu senang dengan adik-adik saja? Mengapa ayah?"

Darke menepuk-nepuk punggungnya, kemudian mengecup puncak kepala Ave. "Sudahlah, ibumu itu memang tidak pernah berubah. Aku tahu, sebaiknya kau tidak perlu memikirkannya lagi."

"Tapi, ibu seharusnya di sini, kan. Ibu mau ke mana? Mengapa ibu pergi?"

"Entahlah, mungkin dia tidak suka bersama kita," jawabnya. Darke menarik tubuhnya sebentar dan menatap lurus putranya. "Nah, sekarang kau bersamaku, dan itu yang terpenting. Kau tidak terluka, kan?" Ia mengecek Ave, dan Ave menggeleng kuat. "Bagus, Nak. Sekarang dengarkan aku baik-baik, ibumu itu jahat. Ibumu tidak sayang padamu, dan sekarang kau harus dengar apa yang aku katakan."

"Ibu."

"Ya, lupakan sejenak soal ibumu. Aku ayahmu dan kau harus menuruti apa pun perintahku."

Ave memberontak, namun Darke menahannya. "Mau bertemu ibu."

"Yang Mulia!" gertaknya, nampak hilang kesadaran. Ia mengguncang bahu putranya kuat-kuat. "Tatap aku, Nak. Sekarang yang terpenting adalah kita dan istana ini. Kau adalah penerusku, dan kau tatap bersamaku. Kau paham itu?" Ave terus menangis. "Terserah mereka mau apa, tapi aku hanya mau kau tunduk padaku. Kau adalah calon raja, dan calon raja tidak perlu bersedih jika ditinggalkan. Kau akan punya segalanya." Ave terus terisak, kemudian mengusap air matanya kasar. Ibu selalu berkata hal manis padanya, ibu tersenyum padanya, dan ibu terus saja menyayanginya, mengusap sayang kepalanya jika dia tidur, menceritakan dongeng seru seraya mendekapnya. Ibu sayang padanya. Ibu ada untuknya. Tapi Darke terus menegaskan bahwa semua itu palsu. Ibu hanya sayang Mav dan Iz. Ave hanya anak yang terbuang. Ave sedih, sekali, sampai dia tidak dapat menguasai tangisnya sendiri. Seharusnya ibu bersamanya sekarang, mengatakan bahwa ayah berkata hal-hal jahat dan seharusnya ibu yang menemaninya bangun untuk sarapan dan bukan para dayang yang sekarang memandangnya kasihan.

[]

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang