rosé | 74

279 36 16
                                    

rosé | chapter tujuh puluh empat

.

.

Satu sore itu, Lavirna keluar dari selnya dengan wajah letih. Ada panggilan dari istana, artinya dia harus bersiap untuk menyusui bayi-bayinya. Ketiga pengawal menemani Lavirna, melewati undakan tangga, keluar dari menara yang terasingkan. Aneh, Lavirna mulai merasa nyaman berada di sel ketimbang di istana. Menyaksikan persiapan pesta, Lavirna makin sadar bahwa statusnya sebagai ratu tidak lagi penting. Bahkan tidak lagi membuatnya silau akan kekuasaan.

Ia mengangkat sedikit gaunnya, berjalan sedikit tertatih. Udara meresap ke kulitnya yang lembab karena terbiasa di dalam sel yang minim matahari. Mirip putri Rapunzel yang terkurung di kastil, Lavirna tidak punya banyak hal dikerjakan dan lebih senang meringkuk sampai jam makan malam tiba. Energinya harus terus disimpan, dipakai ketika ia perlu berpindah ke istana seperti sekarang.

"Yang Mulia," sapa Sir Ale mengejutkannya.

"Ya."

Sir Ale meminta waktu sebentar, membuat pengawal agak mundur. "Senang melihat Anda kembali ke istana."

"Hm, aku tidak sepenuhnya kembali. Beberapa waktu aku akan di sini, dan ke menara," jelasnya. Dia menyipitkan mata. "Apa yang kau kerjakan, Sir?"

"Hanya urusan administrasi, dan mengajari dayang baru," katanya. Sir Ale tersenyum penuh makna, memperhatikan penampilan Lavirna yang amat sederhana. Rambutnya terurai berantakan, namun membingkai wajahnya menjadi lebih cantik. Gaunnya kusam dan berwarna krem yang samar, sedangkan tidak ada riasan bahkan tiara pun tidak lagi dipakai di puncak kepalanya. Jika Lavirna tersesat, keluar dari istana dengan penutup wajah, mungkin takkan ada yang sadar dia adalah ratu. Penampilan sudah berbeda sekarang. "Dan mengecek Anda."

Lavirna mendelik. "Hm? Begitu? Jadi Raja menyuruhmu untuk memantauku juga? Ha. Jangan khawatir, aku bahkan tidak berniat melakukan apa pun apalagi kabur dari sini." Ia mengusap tengkuknya. "Aku agak letih." Lavirna memang agak pucat beberapa waktu terakhir, ada sebaris keringat yang terlihat di leher dan dahinya, sepertinya dia agak demam. "Aku permisi."

"Yang Mulia. Bagaimana dengan pesta perayaan pangeran dan putri?"

Wanita itu mengibaskan tangan. "Bukan urusanku. Aku harus menemui mereka dan menyelesaikan ini saja. Jika ada pesta, aku bahkan tidak mau repot untuk muncul. Untuk apa? Mendapat hinaan? Cibiran? Aku hanya tahanan istana," katanya tegas. Dia berjalan bersama pengawalnya, kemudian sampai di kamar utama pangeran dan putrinya. Ave ada di sana, dan langsung melompat ke dekapan wanita tersebut.

*

*

Darke memperhatikan anak-anak panah yang baru dikirimkan, kemudian mulai mengecek sejumlah pisau serta pedang barunya. Semuanya indah dan tajam. Darke akan melakukan perburuan pekan depan, bersama sejumlah menteri dan prajurit andal yang mengisi barisan terdepan. Darke ingat, ada wilayah di utara yang katanya punya banyak rusa liar yang bertubuh besar dan tangguh. Mungkin tanduknya juga bagus untuk pajangan, dan dagingnya pun bisa dimanfaatkan bahkan dimasak di istana. Intinya, dia sangat senang akan perburuan.

Gadis-gadis cantik. Hah, Darke akan anggap itu sebagai bonus saja.

"Yang Mulia, bagaimana?" Si ahli pembuat panah dan pedang itu bertanya. "Anda menyukainya?"

"Ya, ini cocok untukku." Dia mengamati mata pisaunya, menyipitkan matanya seraya tersenyum. Jika dia pakai ini untuk perburuan, jelas akan sempurna. Sebelum itu, dia mengamati pegangan pedang, dan pembungkusnya yang terbuat dari kulit lembu. Darke selalu suka hobinya ini. Sejak kecil, ayahnya selalu mengajaknya berburu, menunggangi kuda, membidik kawanan hewan liar dan membawa tangkapan ke istana. Ada hasrat yang menggebu tiap kali mereka pulang dengan tangan penuh. Darke merasa dia butuh sensasi itu lagi setelah dipusingkan akan urusan istana. Bukan berarti dia tidak menyukai istana, hanya saja dia butuk eskapis, pelarian singkat. Darke akan kembali seraya menengok anak-anaknya yang tampan dan cantik. Menjadi raja sangat menyenangkan sekaligus meletihkan.

Dayang membungkuk di depannya. "Yang Mulia Ratu sudah berada di kamar pangeran dan putri."

"Oh, bagus. Biarkan dia di sana, dan pastikan dia makan dengan baik. Tubuhnya semakin kurus akhir-akhir ini dan aku akan memaksanya bertemu tabib."

Darke tidak tutup mata, melihat Lavirna seperti mayat berjalan karena sepucat itu, dia pun khawatir. Sesekali dia membujuk Ave agar membujuk Lavirna untuk makan lebih banyak, namun berakhir gagal. Ave mengatakan bahwa ibunya itu agak sulit diajak makan bersama. Darke merasa perlu mengecek petugas sel untuk memastikan makanan yang tersaji di sana cukup bergizi, bagaimanapun, Mav dan Iz masih bergantung pada ASI Lavirna yang berpengaruh jika Lavirna sakit atau semacamnya. Lavirna bukan sapi perah yang hanya diminta datang dan menyusui bayi-bayi manis itu, kan.

Darke menaruh pedangnya, kemudian bangkit dari singgasana. Jubahnya menyapu lantai marmer, sedangkan dia mulai memandangi pemandangan sore ini. Vacroz selalu indah dari sisi mana pun, dan Vacroz tidak pernah berubah meski perang pecah dan mengacaukan sebagian wilayahnya. Vacroz tetap tegak dan menganggumkan, bahkan tersohor sampai keluar wilayah kerajaan mereka. Darke hanya butuh sedikit upaya agar mereka mau mengembangkan bisnis mereka di sini atau memberikan sejumlah harta mereka agar Vacroz lebih maju dan bisnis mereka kian pesat.

Dia menunduk, menatap cincin yang masih tersemat. Seharusnya dia tidak mengenakan cincin itu lagi, setelah sikap Lavirna yang tetap keras bercerai padanya. Namun, inilah kenyataannya; dia masih mencintai Lavirna. Sejauh apa pun menyangkal, dia akan tetap berlabuh pada Lavirna.

"Aku tidak akan pernah mencintaimu, Yang Mulia."

Darke tersenyum miring. Wanita itu jelas hanya butuh waktu untuk menata kembali hati dan pikirannya, karena Darke yakin, sebagaimana dia mencintai Lavirna, Lavirna pada akhirnya akan tetap kembali ke pelukannya. Hanya masalah waktu.

Sementara itu, di tempat lain, Lavirna menggendong Iz seraya mengusap wajah cantiknya tersebut. Dia agak pedih melihat wajah yang bersinar serta sepasang mata bulat yang penuh kilau itu. Menjadi cantik akan menjadi masalah, Nak. Lavirna menciumnya sayang, kemudian membiarkan Iz terlelap di dekapannya. Menjadi cantik, membuat segalanya pelik. Entah gagasan dari mana, atau berawal dari apa, jika Lavirna bisa memilih; dia tidak ingin ditakdirkan menjadi cantik. Sejauh ini, ada lebih banyak kerugian yang datang dari paras menawan ini, dan ada banyak tragedi dari yang dia dapat bayangkan.

Air mata jatuh dengan mudahnya dari pipi Lavirna. Ia menangis dalam diam, menahan sesak, kemudian menimang Iz dengan hati berat. Mungkin semuanya akan berbeda jika saja bukan wajah ini yang diwariskan kepadanya, jika keluarga Rose tidak melahirkan bayi perempuan sepertinya, yang kecantikannya mulai dibicarakan di mana-mana. Jika keluarga Rose tidak mempunyai anak bungsu dengan daya pikat sepertinya. Nasi sudah menjadi bubur, Lavirna akan berusaha untuk beradaptasi dan berusaha memandang berbeda apakah kecantikan ini memang petaka, atau anugerah yang nantinya akan dia syukuri. Tetapi untuk sekarang, Lavirna hanya ingin mengasihani dirinya sendiri, terkurung di istana ini, menjadi ratu yang tidak dianggap, bahkan bertemu anak-anaknya pun terasa sulit karena kekangan raja. Anak-anak itu akan bersamaku, jika bersamamu mereka tidak akan dapat masa depan yang layak. They belong to this kingdom, now and forever.

[]

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang