rosé | 06

2.6K 248 11
                                    

rosé | chapter enam

*

*

*

Baron adalah orang kepercayaan Ellenoir. Dia adalah ayah Fiona dan sudah seperti ayah Ellenoir. Sejak masuk ke dalam pasukan khusus bahkan pasukan Serigala, Baron selalu ada di sana sebagai Ketua mereka. Karena satu dan lain hal, Baron sudah tidak bergabung di pasukan utama dan lebih fokus pada pencarian orang-orang yang istana inginkan. Namun, sepertinya, Ellenoir perlu berbahagia karena Baron justru memilih menolong mereka.

"Kalian bisa pergi sekarang juga. Aku ..." Dari sakunya, dia memberikan beberapa keping emas. "Aku hanya punya ini. Semoga ini cukup."

"Terima kasih banyak." Akhirnya, Ellenoir buru-buru membungkus pakaian mereka. Lavirna membungkuk hormat kepada Baron yang turut tersenyum.

"Aku percaya kepadamu, Elle. Jaga dia baik-baik. Jaga dirimu juga, aku sangat berharap kalian bisa selamat."

Ellenoir pun pamit dari hadapan Baron, kemudian menarik tangan Lavirna. Mereka mendekati kuda Ellenoir yang sudah terbangun kemudian mulai menelisir wilayah hutan yang masih gelap. Lavirna mendekap pinggang Ellenoir yang masih fokus mengendalikan laju kuda tersebut.

"Dia sangat baik, aku sangat beruntung," gumam Ellenoir dengan suara serak.

"Dia keluargamu ya?"

Ellenoir berdeham, berusaha menetralkan suaranya. Mereka agak menunduk sewaktu melewati beberapa ranting. Setelah beberapa puluh menit, barulah Ellenoir mengangguk. "Dia adalah ayah sahabatku."

Perjalanan itu jadi lebih mencekam karena medan yang licin dan hampir membuat kuda mereka tergelincir. Setelah merasa waswas dalam satu jam terakhir, akhirnya, Ellenoir mulai menyipitkan mata dan menarik tali kekang kudanya lebih keras. Mereka melaju seperti satu-satunya benda hidup di hutan dan tidak dapat terhentikan.

Sesampainya di dekat pelabuhan, barulah Lavirna dapat membuka matanya lebih jelas. Mereka turun dari kuda dengan Ellenoir turun terlebih dahulu, kemudian mereka mengenakan mantel bertudung dan masker hitam. Ellenoir membantu Lavirna untuk turun. Tubuh Lavirna benar-benar tertutupi sempurna dengan pakaian tersebut jadi dia cukup yakin tidak akan mencurigai mereka.

Satu koin emas itu sangat bermanfaat; mereka membeli makanan berupa roti isi sayuran dan daging serta dua tiket kapal serta uang sewa untuk mengangkut kuda tersebut ke bagian bawah kapal.

Ellenoir tidak melepaskan genggaman tangannya dari Lavirna dan melewati beberapa orang. Ia agak berbisik. "Jangan pandang siapapun, jangan bicara kepada siapapun."

Gadis itu mengangguk. Ini pertama kalinya dia menaiki kapal besar, apalagi ada beberapa orang yang membawa banyak muatan pula bergabung dengan mereka. Para ibu, ayah, dan anak-anak kecil yang terlampau jahil dan kerap menabrak sisi tubuh mereka. Lavirna hampir memekik namun dia mengigit bibirnya dan mengekori Ellenoir yang menuntun jalan. Baju zirahnya agak berderak-derak di dalam mantel tapi tidak ada yang menaruh perhatian karena semua orang sibuk.

*

*

Aroma laut memabukkan untuk mereka. Lavirna sudah mual bukan main dan ditemani untuk ke toilet dalam beberapa waktu. Dia memuntahkan roti isi dan minum yang disantapnya beberapa menit lalu. Ellenoir berusaha menatap sekitar dan tetap memasang sinyal waspadanya.

"Kita akan tiba dua jam lagi. Kau masih bisa bertahan kan?" tanyanya pelan.

"Tentu."

Setelah membasuh bibir dan sisi wajahnya maupun sedikit mantelnya yang terkena muntahan. Lavirna pun akhirnya keluar dari toilet tersebut, bersama Ellenoir yang lagi-lagi memimpin jalan. Kapal masih berguncang-guncang dengan tangis bayi di ujung ruangan serta beberapa pria tua yang hilir mudik untuk meminta tiket mereka maupun uang.

Sesaat dia berdiri di hadapan Ellenoir dan Lavirna, pria itu agak menunduk dan memiringkan wajah. Dia nampaknya penasaran dengan wajah Lavirna. "Maaf, apa yang Anda lakukan?"

"Dia adikmu? Mengapa ... apakah dia sakit?"

"Yah, wajahnya buruk rupa dan dia punya penyakit aneh di kulitnya. Sebaiknya Anda mundur."

Pria itu bergidik dan menerima tiket mereka seraya buru-buru pergi. Ellenoir melirik Lavirna yang sudah gemetaran kemudian berucap, "Tenanglah. Dia sudah pergi."

Tidak berapa lama, beberapa pria bersama dengan si pria tiket itu muncul. Satu pria tinggi langsung berhadapan dengan Ellenoir. "Maaf, Nona. Tapi di kapal ini kami tidak menerima penumpang yang berpenyakit parah seperti itu. Setelah ini, akan ada pelabuhan terdekat untuk kalian turun ..."

"Tapi itu bukan tujuan kami!"

"Maaf, mungkin kau tidak tahu, tapi ini peraturan kami. Kau bisa membahayakan penumpang lain apalagi dengan kondisi Adik Anda yang berpenyakit kulit itu." Dia menyuruh dua temannya untuk menarik Ellenoir dan Lavirna. Lavirna sudah gemetaran hebat sedangkan Ellenoir berontak. Dia mendorong mereka semua denga lengannya yang kuat, mengangetkan para pria itu.

"Tidak bisakah kalian sopan?!" pekiknya hingga menarik perhatian penumpang lain. "Dia memang sakit, tapi aku pastikan penyakitnya tidak menular ..."

"Tetap saja, Nona."

"Kami tidak mau turun!"

Beberapa penumpang mengeryit tidak senang kepada mereka. Salah satu Ibu nampak bangkit dengan hidung mengerut jijik. "Astaga, kau ini ... kau mau keras kepala? Siapapun yang sakit seharusnya tetap di rumah! Kau jangan menebar penyakit menjijikkanmu kepada orang lain"!

"Yah! Benar! Banyak anak kecil!"

"Benar! Turun sekarang!"

"Turun sana!"

"Menjijikkan!"

Suara-suara itu melengking tinggi. Ellenoir mendengus kasar sedangkan Lavirna mulai menangis kecil. "Aku tidak merugikan kalian semua! Kami membayar dan aku bisa memastikan ..."

Srett

Si pria tiket itu mendadak menarik tudung Lavirna, membuat semua orang terkesiap. Lavirna sontak terperajat dan mengangkat wajahnya.

"Astaga ... Tuhan."

Semua pria nampak memekik takjub sedangkan si Ibu tadi nampak tercengang di tempatnya. Lavirna terisak pelan dengan mata yang sembab. Wajahnya yang putih pucat menyedot perhatian terlebih parasnya yang rupawan; bibir merah delimanya membuka, hidung yang mancung, serta dagu yang indah dan rambutnya yang terurai bersinar.

"Dia tidak sakit ..." Si pria tiket itu berusaha menemukan suaranya. "Dia cantik." Beberapa orang hendak mendekat, sontak membuat Ellenoir geram kemudian menghalangi mereka dengan berdiri di hadapan mereka semua.

"Kau berbohong! Adikmu tidak sakit!"

"Dia sakit."

"Kau bercanda?" pekik si pria dan hendak menyentuh sisi wajah Lavirna namun Ellenoir cepat mendorongnya keras. Seisi ruangan itu mendadak ricuh dengan sahut-sahutan dan para pria yang tertawa rendah penuh minat. Ellenoir menggeram samar hingga satu suara mencuat tinggi.

"Dia adalah orang yang dicari pangeran! Aku tahu! Aku bekerja di pasar dengan Ibuku saat dia dibawa ke istana!"

"Astaga! Mengapa kalian di sini?"

"Kalian buronan istana?!"

[]

rosé (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang