NL - 6

114K 8.7K 419
                                    

Arsen dan Bara sudah pergi ke kantor, Rio ke kampus, dan Alan ke sekolah. Di rumah hanya ada Rara, Nadin, dan beberapa pelayan.

Rara sedang berjalan-jalan di taman belakang rumah, Ia tertarik untuk melihat bermacam-macam bunga yang sangat indah di taman, ditemani zii kucingnya.

Saat Rara diminta ikut bersama Arsen dan Nadin, Ia meminta agar mereka mengizinkannya membawa zii, Rara sangat menyayangi zii dan tak mau berpisah dengan zii, karena selama ini hanya zii lah yang selalu menemani Rara di kala senang dan sedih.

"Zii kamu seneng gak tinggal di sini?" Tanya Rara pada zii.

Rara terkekeh menyadari dirinya yang baru saja mengajak zii bicara, Rara menurunkan zii dari gendongan karena tiba-tiba tangannya terasa gatal.

Rara menggaruk tangannya, saat matanya melihat tempat yang dirasa gatal, ternyata kulit Rara memerah dan muncul bintik-bintik kecil.

Rara tak menghiraukan kulitnya yang memerah, karena Ia berpikir jika itu hanya digigit serangga, mengingat saat ini Ia sedang berada di taman.

Dari kejauhan terlihat Nadin datang membawa segelas jus berwarna hijau, yaitu jus alpukat. Semalam saat Nadin bertanya Rara menyukai apa, Ia menjawab menyukai jus alpukat.

"Zii jangan jauh-jauh," ucap Rara lantang, melihat kucingnya berlarian.

"Sayang ini Mamah bawain jus alpukat," sahut Nadin.

Nadin memberikan jus tersebut pada Rara, saat Rara menjulurkan tangannya berniat mengambil jus tersebut, tiba-tiba lengannya ditahan Nadin.

Nadin merasa bingung melihat keadaan kulit Rara, suhu tangannya pun terasa hangat. Nadin menempelkan punggung tangannya ke kening Rara, sedangkan Rara hanya menatap polos Nadin.

"Kenapa Mah?"

"Kamu gak enak badan?" Khawatir Nadin.

Nadin segera menaruh jus alpukat yang belum sempat diminum Rara ke meja terdekat.

"Enggak kok," jawab Rara.

"Ini kenapa tangan kamu merah-merah?"

Nadin mengangkat lengan Rara untuk diteliti, Ia menyingkap baju yang ada di bahu Rara, dan benar saja di sana juga ada bintik-bintik merah.

"Digigit serangga kayaknya Mah, gapapa kok," ucap Rara tak ingin membuat Nadin khawatir.

Bukannya tenang, Nadin malah semakin khawatir, tak mungkin ini digigit serangga, karena bintik-bintik merah tersebut ada di seluruh tubuh Rara. Tanpa membuang waktu, Ia segera memanggil seorang pelayan untuk menelpon dokter.

"Ayo ke kamar."

Nadin dan Rara bergegas menuju kamar Rara, walaupun Rara merasa kebingungan, tapi Ia dengan patuh mengikuti langkah kaki Nadin.

Setiba di kamar, Rara tanpa sadar mulai menggaruk kulitnya yang terasa gatal, mungkin karena pengaruh angin dan beraktivitas jadi saat di taman Ia tak merasa gatal, tapi setiba nya di kamar tubuhnya langsung gatal.

"Jangan digaruk, nanti sakit," nasihat Nadin.

"Gatel Mah," ringis Rara, membuat Nadin kalang kabut dengan wajah sangat panik.

"Tunggu ya dokter sebentar lagi sampai."

Tak lama kemudian Dokter Rizky datang membawa peralatan medis sederhana, Ia langsung memeriksa keadaan Rara, Nadin senantiasa mengawasinya.

"Bagaimana Dok?"

"Apa nona ada alergi pada sesuatu?" Tanya Dokter Rizky pada Rara.

Rara terlihat berpikir, Ia ingat jika Ia memang alergi pada udang, tadi pagi tak sengaja Ia memakan udang, pantas saja sekarang tubuhnya gatal.

"Iya Dok, aku alergi udang."

"Begitu ya, lain kali jika mau makan nona harus memperhatikan makanannya, jangan sembarang makan," nasihat Dokter Rizky.

"Tapi anak saya gapapa kan Dok? apa harus di bawa ke rumah sakit buat dirawat?" Tanya Nadin memastikan.

Dokter Rizky tersenyum, "Tidak apa-apa, nona tidak perlu dirawat, saya akan memberikan resep obat untuk nona, setelah meminum obat dan istirahat yang cukup, nona akan sembuh."

"Baiklah, terimakasih Dok."

"Sama-sama. Ini sudah kewajiban saya. Kalau begitu saya pamit dulu."

"Mari saya antar ke depan," sahut Nadin.

"Sayang Mamah nganter Dokter Rizky dulu ya," ucap Nadin pada Rara.

Rara mengangguk, tak lupa Ia mengucapkan terimakasih pada Dokter Rizky. Setelah Nadin dan Dokter Rizky pergi, Rara menarik selimutnya sampai bawah dagu, entah kenapa suhu terasa sangat dingin, padahal AC di kamarnya sudah dimatikan, jendela juga tertutup rapat.

Mata Rara semakin lama semakin terasa berat padahal ini masih pukul 12 siang, Rara pun tertidur bergelung selimut tebal. Tiba-tiba tenaga nya menghilang setelah berbaring di ranjang.

Di dapur, Nadin sedang menyiapkan bubur untuk makan siang Rara, Nadin sangat khawatir dengan keadaan Rara, Ia sempat menelpon suaminya, memberitahu bahwa Rara jatuh sakit.

Setelah selesai membuat bubur, Ia berjalan menuju kamar Rara, tapi saat akan naik tangga, pintu utama rumah terbuka cukup keras, menimbulkan suara benturan antara pintu dan dinding

Bara memasuki rumah tergesa-gesa, Nadin dapat melihat dengan jelas raut khawatir dan gelisah Bara. Pasti putranya sudah mengetahui kondisi Rara dari Arsen. Memang sekarang Arsen sedang pergi keluar kota, jadi tidak bisa segera sampai di rumah, Ia memilih untuk mengabari Bara.

"Mah Rara dimana?"

"Di kamar," jawab Nadin singkat, karena merasa bingung sekaligus terkejut melihat ekspresi yang sangat jarang tercetak di wajah Sang Putra.

Bara segera berlari kecil menuju kamar Rara, tangannya memegang knop pintu dan membukanya pelan-pelan. Bara bernafas lega melihat Rara sedang tertidur. Ia berjalan mendekati ranjang, lalu duduk di tepian ranjang.

Dengan ragu Bara mengusap puncak kepala Rara, Ia sungguh merasa khawatir, setelah Arsen menelpon dirinya untuk mengabari kondisi Raram

Tanpa menghiraukan sekretarisnya yang terus meneriakkan namanya karena 1 jam lagi akan ada rapat, kaki Bara terus berlari dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di rumah, bahkan Ia seakan lupa jika memiliki seorang supir.

"Rara kenapa Mah?" Tanya Bara saat Nadin memasuki kamar.

"Rara alergi udang, tapi pagi kayaknya dia makan udang." Nadin menyimpan bubur di atas nakas samping ranjang.

"Sayang bangun, makan siang dulu terus minum obat yu," ucap Nadin lembut, tangannya mengusap bahu Rara.

Merasa terganggu Rara membuka matanya sedikit, ternyata Ia ketiduran, badannya masih merasakan dingin. Rara semakin memeluk erat selimut.

"Dingin?" Tanya Bara.

Mendengar suara asing yang memasuki indra pendengarannya, sontak Rara membuka mata lebar, kepalanya menoleh ke asal suara. Betapa terkejutnya Ia melihat kakak sulungnya ada di samping dirinya.

"Kamu kedinginan?" Tanya ulang Bara dengan wajah datar, membuat Rara sedikit takut.

Bagaimana tidak takut, ekspresi Bara sangat datar, bahkan bisa dibilang terlihat sedang menahan emosi, membuat Rara sangat gugup sekaligus takut sekarang.

Bara membuang nafas kasar, sekarang adiknya takut padanya. "Maafin Kakak," ujar Bara lembut diiringi senyum tipis yang sangat jarang Ia tampilkan.

Rara hanya diam, Ia masih kaget jika Bara ada di sampingnya, Ia kira Kakaknya ini tidak akan mau berbicara dengannya.

Tidak mendapat respon dari Rara, Bara segera menangkup wajah pucat Rara, bibirnya Ia tempelkan di kening hangatnya, lalu tangannya mengusap lembut rambut Rara.

"Maafin Kakak kemarin gak sambut kamu, hmm."

Mendengar hal tersebut sontak Rara semakin terkejut, bahkan tubuhnya membeku tak bergeming, apakah Ia tidak salah dengar?

Berbeda dengan Rara, Nadin merasa terharu, selama ini Bara tak pernah bersikap lembut seperti ini, Ia selalu acuh tak acuh pada semua hal, hatinya menghangat menyaksikan interaksi Bara dengan Rara.

"Kenapa gak bicara? Ada yang sakit?" Bara kembali menampilkan raut khawatir.

Kepala Rara menggeleng. "E-nggak kok," cicit Rara.

Alis Bara terangkat. "Kenapa gak panggil Kakak?"

Ego Bara tersentil karena Rara tidak memanggilnya dengan sebutan Kakak, sedangkan pada Rio dan Alan, Rara memanggilnya kakak.

"Hah?" Rara tak mengerti apa maksud Bara.

"Panggil Kakak," titah Bara.

"Ka-kak," gagap Rara.

Rara merasa gugup berhadapan dengan Bara, karena Rara sempat mengira jika Bara tidak suka padanya.

Senyum Bara terbit, menambah kadar ketampanannya, Rara akui jika semua kakaknya sangat tampan, Ia tidak heran karena orangtunya pun rupawan.

Bara memeluk tubuh Rara yang masih terbalut selimut tebal, lalu mengecup kening dan pipi Rara kembali.

Nyawa Rara seakan melayang beberapa saat mendapat perlakuan manis dari Bara.

"Udah ah, Rara makan dulu ya," tutur Nadin menghentikan suasana melankonis antara Bara dan Rara. Ia mengambil kembali bubur dari atas nakas.

"Biar Bara aja Mah yang suapin Rara, Mamah istirahat aja di kamar," tawar Bara.

Nadin mengerti jika putranya ingin semakin dekat dengan putrinya, dengan senang hati Ia memberikan mangkuk berisi bubur tersebut kepada Bara. Lalu pergi menuju kamarnya.

"Makan dulu."

Rara menatap bubur yang ada di tangan Bara melas, Ia tidak suka bubur, apalagi jika ada seledri, mending dia puasa daripada memakannya.

"Aa..." Bara menyodorkan sesendok bubur ke hadapan mulut Rara.

"Gak mau," cicit Rara.

Bara mengerutkan keningnya. "Kenapa gak mau hmm?"

"Aku gak suka bubur," jawab Rara lemas.

Bara menghela nafas. "Makan sedikit aja, buat ganjel perutnya, kalau gak makan nanti tambah sakit," nasihat Bara.

Bibir Rara melengkung ke bawah, masih dengan memegang selimut erat, Ia meluruhkan badan semakin berbaring, seakan benar-benar tak mau makan bubur, ditambah Ia masih merasa takut dan canggung dengan Bara.

"Kenapa?"

"Bubur gak enak," adu Rara dengan suara teramat pelan.

"Tiga suap aja, kamu harus makan obat."

Bara berusaha bersabar menghadapi Rara yang sedang merajuk tidak ingin makan bubur. Bara bukan termasuk orang yang sabar, tapi saat berhadapan dengan Rara Ia mendadak berubah.

Biasanya Bara akan mengabaikan orang yang merengek, bahkan bisa sampai melemparkan piring tersebut kepada orang yang menghambat waktunya.

"Coba dulu, aa..."

Akhirnya Rara terpaksa menerima suapan Bara, karena tak mau membuat Bara marah, tapi ternyata bubur buatan Nadin tak seburuk itu, bahkan lumayan terasa enak.

"Enakkan?"

Tanpa menjawab, Rara terus menerima suapan demi suapan yang Bara berikan, meskipun sesekali merasa eneg.

Bara tersenyum geli, melihat Rara menikmati buburnya. Sesekali Ia mengusap noda yang tertinggal di sudut bibir Rara.

Tak disangka, bubur tersebut sudah habis dilahap Rara, Ia jadi malu sendiri, karena sebelumnya menolak memakannya, tapi lihatlah sekarang mangkuk itu sudah bersih.

Setelah meminum obatnya, Bara menyuruh Rara untuk tidur, Rara yang memang mengantuk menurut saja, Ia kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Bara senantiasa menemani Rara, Ia mengusap kepala Rara, berharap cepat tertidur.

BRAKK...

"Astaga, Kak Alan?" kaget Rara yang kembali duduk setelah berbaring.

"ALAN!"

***

Hai gaisss

Mulai malam ini author bakal update cerita ini secara bertahap

stay tune yaa

jangan lupa vote dan komen, okey.

ig: idzahra



New Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang