NL - 9

90.8K 7.9K 425
                                    

Ruang tamu di kediaman Addison saat ini hening. Arsen, Bara, dan Rio hanya duduk dengan gelisah, sesekali mereka melihat layar ponsel mereka masing-masing. Sekarang sudah pukul setengah tujuh. Nadin, Rara, dan Alan belum pulang juga.

Bara mengeluarkan aura tak bersahabat dari tadi. Rio tak berani bicara pada Bara, takut kena sembur omongan tajam, setajam silet kakaknya.

"Sial," umpat Bara kesal.

Dari tadi Ia menelpon adiknya Alan dan mamahnya Nadin, tapi mereka tak menjawab satu kali pun. Ia diliputi rasa khawatir yang luar biasa, teringat akan adiknya Rara yang sakit kemarin, dan sekarang Ia malah pergi keluar tanpa memberitahunya sama sekali, apalagi hari sudah malam.

"Sabar sedikit, kata Jack mereka sedang dalam perjalanan."

Arsen menghela nafas jengah, sebenarnya Ia sudah memberitahu Bara, jika istri dan anaknya sedang pergi berbelanja, Ia tau jika Rara pasti merasa bosan di rumah terus tanpa melakukan apa-apa, ditambah istrinya merengek agar Arsen mengijinkannya pergi belanja. Terpaksa Arsen mengijinkannya.

Arsen juga diam-diam mengirimkan beberapa bodyguard untuk menjaga keamanan keluarganya, Ia tak akan ceroboh.

"Kenapa Papah membiarkan mereka pergi, Rara belum sembuh total." Dengus Bara.

Rio hanya menyimak, Ia juga sangat khawatir pada Rara, tapi Ia masih bisa mengontrol emosinya, tidak seperti Bara yang tempramental.

"Mamah mu merengek pada Papah tadi siang, Papah bisa apa?" Lesu Arsen.

"Tapikan Papah bisa kasih tau kita tadi, jadi aku sama Kak Bara bisa ikut," sahut Rio yang akhirnya angkat bicara.

Arsen memutar bola matanya malas. Di rumah ini memang tidak ada yang selalu memihak padanya. Istri dan anaknya sering memusuhi dirinya. Lihatlah sekarang, Bara dan Rio sedang melampiaskan kemarahan mereka padanya.

"Sudahlah, kalian ini."

Suara deru mobil yang memasuki kawasan rumah, berhasil mengalihkan perhatian mereka. Mereka berdiri dari duduknya menunggu orang ditunggu-tunggu dari tadi masuk rumah.

"Ayo masukkan semuanya ke kamar Rara."

Terdengar suara Nadin, diikuti Rara, Nadin, dan Alan yang memasuki rumah. Alan berjalan di belakang Rara, takut terkena amukan papah dan kakaknya.

"Kenapa baru pulang?"

Suara datar Bara menyadarkan mereka, Nadin tersenyum kikuk pasti putra sulungnya akan marah karena Ia menculik adik kesayangannya, sedangkan Alan diam tak berkutik, Ia sudah tau bagaimana tabiat kakaknya saat marah, Ia tak ingin memancing jiwa monster dalam diri Bara.

Rara berlari menghampiri Arsen lalu memeluk papahnya, dengan senang hati Arsen membalas pelukan putrinya.

Kemarahan Bara sekarang meningkat melihat Rara menghampiri Arsen terlebih dahulu dibanding dirinya, egonya tersentil, apa adiknya tak suka pada dirinya, pikirnya

"Aduh Mah, Rara harusnya peluk Kak Bara dulu. Liat aja tanduk Kak Bara udah muncul," bisik Alan pada Nadin.

Nadin mengangguk menyetujui ucapan Alan. Sedangkan Rio, Ia meletakkan jari telunjuknya di leher, lalu membuat gerakan seolah pisau sedang menyayat lehernya. Ia sengaja menakut-nakuti adiknya. Alan melotot, benar-benar nih kakaknya yang satu ini.

"Peluk Kak Bara sana, dia lagi marah," bisik Arsen pada Rara.

Rara melepaskan pelukannya, menatap penuh tanya pada Arsen, tak mengerti maksud dari Arsen. Segera saja Ia menghampiri Bara, memeluknya, Bara otomatis memeluk balik tubuh mungil Rara. Bara menghirup aroma vanila yang keluar dari tubuh Rara, perlahan Ia mulai tenang.

"Kakak lagi marah ya?"

Rara mendongakkan kepalanya, bertanya kepada Bara dengan tatapan polos. Amarah Bara menguap begitu saja melihat keluguan Rara. Ia kembali memeluk Rara.

"Kakak gak marah," jawabnya.

Rara menganggukkan kepalanya dalam pelukan Bara.

"Kakak gak dipeluk nih?" Celetuk Rio.

Rara segera melepaskan pelukannya dengan Bara, Ia langsung menghampiri Rio, memeluk kakaknya hangat.

"Kamu abis darimana? Kok pulangnya malem?" Tanya Rio yang sudah melepaskan pelukannya.

"Butik terus restoran," jawab Rara seadanya.

"Lain kali kalau mau keluar bilang sama Kakak," ucap Bara menarik Rara mendekati dirinya.

Rara hanya mengangguk, ekor matanya melihat Alan sedang berjalan mengendap-endap menuju tangga.

"Kanapa gak angkat telepon?" Tanya Bara dengan nada dingin pada Alan.

Alan yang sedang melancarkan aksi kaburnya terhenti, gagal sudah usaha dia. Alan mengeluarkan cengiran khasnnya. Tangan gemetarnya memegang telinga menyilang.

"Hehe, aku gak sengaja. Baterainya abis, tanya aja sama Rara. Benerkan Ra?" Cerocos Alan meminta dukungan pada Rara.

"Iya Kak," jawab Rara.

"Masa? Kok Mamah gak tau?" Celetuk Nadin. Dari tadi Ia sudah duduk di sofa.

Alan menyipitkan matanya, kenapa mamahnya seakan-akan ikut menyudutkan dirinya. Mau protes takut kualat, jadinya Alan hanya menatap Nadin dengan pandangan tak percaya.

Rio ingin sekali terbahak melihat wajah nelangsa Alan. Jika pada dirinya Alan selalu melawan, tapi lihatlah kepada Bara Ia tak berkutik.

"Bohong tuh Kak," sahut Rio dengan nada mengejek.

"Alan?" Suara dingin Bara kembali terdengar.

"Ihh bener kok Kak baterai abis. Nih liat kalau gak percaya."

Alan menyodorkan ponselnya ke hadapan Bara, agar kakaknya itu percaya padanya. Tapi bukannya diambil, Bara malah acuh.

"Udalah gak penting," Bara membalikkan badannya ke arah Nadin duduk, "Mah, lain kali kalau mau keluar kasih tau Bara."

Alan melongo. Tangannya masih menggantung tak percaya dengan apa yang dilakukan kakaknya. Rio menahan tawanya susah payah, beda dengan Rara yang merasa kasihan pada Alan.

"Kakak sini biar aku aja yang liat," ujar Rara.

Rara meraih ponsel Alan, Rara kagum melihat ponsel Alan yang sangat bagus menurutnya, Ia mengacungkan jempolnya di depan muka Alan.

"Ponsel Kakak bagus."

Alan hanya menganggukkan kepalanya tak semangat. Rio menghampiri Rara yang sedang memainkan ponsel Alan.

"Kamu gak diapa-apain kan sama Kak Alan tadi?"

"Diapain gimana Kak?" Tanya Rara bingung.

Tenaga Alan sudah hilang tak bersisa, semua orang di rumah ini memang tak pernah membela dirinya, Ia selalu ternistakan.

"Ya gitu hehe." Rio jadi bingung sendiri harus bilang apa. Ia lupa jika adiknya ini sangat polos.

"Apaan sih Kak, jangan jelek-jelekin aku di depan Rara ya," sewot Alan.

"Emang jelek," sahut Bara yang dari tadi hanya menyimak.

Hancur sudah mood Alan, kakak sulungnya itu jarang bicara, tapi sekalinya bicara bisa membuat Alan insecure dan badmood. Omongannya setajam silet, tapi apalah daya Alan, Ia tak berani berdebat dengan Bara. Ia selalu menerima dengan lapang dada semua ejekan Bara padanya.

Rara menatap raut sedih Alan yang sangat terpancar di wajahnya yang tampan, Ia jadi ikut sedih. Rara menghampiri Alan, lalu membisikkan sesuatu.

"Kakak ganteng kok," bisiknya.

Alan tersenyum kecil, perkataan Rara sangat berpengaruh. Dirinya ini memang tampan, di sekolah saja hampir seluruh siswi ingin jadi pacarnya. Dasar Bara saja yang iri padanya.

"Sudah-sudah, kalian ini. Rara pasti cape kan? istirahat ya, Papah mau ke kamar dulu," kata Arsen.

Arsen sudah jengah melihat dan mendengar perdebatan tak bermutu anak-anaknya, Ia bangkit dari duduknya lalu pergi ke kamarnya yang ada di lantai satu, tak lupa mengecup kening istri dan putrinya.

"Sayang bajunya biar pelayan yang beresin, kamu gak perlu beresin sendiri oke," ucap Nadin.

"Oke Mah," jawab Rara.

Nadin melenggang pergi menyusul suaminya ke kamar, Ia juga lelah ingin mandi lalu istirahat.

"Itu tadi baju kamu semuanya Ra?" Tanya Rio.

"Iya. Aku sebenernya udah nolak tapi mamah maksa. Jadi beli semua deh."

Rio mengangguk-anggukkan kepalanya. Bara menghampiri Rara, meraih pergelangan Rara lalu mengajak Rara pergi dari ruang tamu ke kamar Rara. Bara tau Rara pasti merasa letih.

Di ruang tamu sekarang hanya tersisa Rio dan Alan. Mata Alan memancarkan tatapan permusuhan pada Rio, yang ditatap hanya menampilkan wajah menyebalkannya, Alan semakin ingin menonjok muka kakaknya itu.

Rio terkekeh, menggoda Alan sudah menjadi kesenangan tersendiri untuknya. Rio bersikap sepert ini hanya pada keluarganya saja. Jika berhadapan dengan orang asing, maka Ia akan sebelas duabelas dengan Bara.

Rio melenggang meninggalkan Alan sendiri di ruang tamu. Hening, itulah yang dirasakan Alan.

Alan berlutut di atas karpet bulu yang mempunyai warna senada dengan sofa. Tangannya terbuka lebar di depan wajahnya.

"Ya Allah, berilah Hamba-Mu ini ketabahan dalam menghadapi saudara-saudara Hamba yang sangat tidak berperikeadikkan. Semoga mereka cepat sadar Ya Allah, kalau Alan yang gantengnya gak ketulungan ini juga adik mereka. Aminnn."

***
.
.
.

New Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang